Senin, 20 Desember 2010

KOMPETENSI GURU





Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda
By: La ludi
( Guru MAN 1 Kendarai )
Kepedulian orang terhadap pendidikan dewasa ini sudah meningkat. Sekarang kita dapat menemui ratusan artikel yang berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan melalui surat kabar, majalah, seminar dan lewat cyber atau internet. Salah satu judul atau topik yang sering diangkat orang dalam berbagai seminar dan talkshow adalah bagaimana melejitkan potensi diri dan menumbuh-kembangkan pendidikan yang berimbang antara “imtaq dan iptek”- iman dan taqwa- dan ilmu pengetahuan dan teknologi- atau topik tentang mengembangkan kepintaran berganda antara IQ, EQ dan SQ.
Konsep- konsep untuk mengembangkan kepintaran berganda- mutiplied intelligent- ini kemudian dibawa ke dalam dunia pendidikan (ke sekolah) dan ke dalam rumah tangga. Namun konsep dan teori tentang kecerdasan berganda corongnya lebih banyak mengarah kepada dunia anak- anak dan para siswa di sekolah. Untuk mereka sengaja dirancang berbagai program, pelatihan atau training disertai dengan segudang resep bagaimana agar mereka bisa memiliki kepintaran berganda- menjadi generasi muda yang memiliki multiplied intelligent dengan harapan kelak bisa hidup indah, mudah dan jauh dari gelisah.
Menerapkan dan mengarahkan corong konsep pendidikan kepintaran berganda kepada anak didik di sekolah dapat dianggap sebagai langkah yang tepat. Namun kebijakan ini tidak berimbang kalau guru- guru nya sendiri belum memiliki kepintaran berganda. Bagaimana guru bisa menerapkan perannya yang cukup banyak seperti sebagai educator, motivator, counselor, dan lain- lain- kalau mereka tidak memiliki kepintaran berganda.
Bagaimana realita tentang kualitas guru- guru dan konsep kepintaran berganda mereka pada banyak sekolah ? apakah mereka sudah memiliki kepintarasn berganda atau malah mereka hanya memiliki kemampuan pas- pasan saja sebagai seorang guru (?).
Pada banyak sekolah, umumnya guru- guru hanya memiliki kepintaran tunggal, yaitu hanya sekedar menguasai mata pelajaran mereka saja. Guru yang begini adalah realita kebanyakan guru- guru. Siswa memandang guru yang demikian sebagai guru yang biasa- biasa saja. Motivasi yang mereka berikan kepada siswa terasa juga biasa- biasa saja. Namun bila ada guru yang memiliki beberapa kepintaran- selain menguasai bidang studinya, juga cakap dalam hal lain, seperti pintar berpidato, pandai komputer dan internet, hangat pribadinya, dan lain- lain, maka guru yang demikian pasti memiliki tempat spesial dalam hati anak didik mereka.
Guru dengan kepintaran berganda seperti yang disebutkan tadi agaknya dapat diberi label sebagai guru yang profesional atau guru yang berkualitas. Mereka adalah guru yang memiliki karakter- cerdas kognitifnya, cerdas affektifnya dan cerdas psikomotoriknya. Guru yang begini tentu sangat menyenangkan, namun populasi mereka tentu saja tidak banyak. Namun setiap guru- kalau ada motivasi, keinginan dan usaha maka tentu saja mereka bisa-musti menjadi guru- guru yang spesial bagi anak didiknya. .
Sebahagian guru, seperti halnya kaum remaja, juga ada yang terjebak kedalam budaya instant- budaya yang menginginkan hasil bisa diperoleh serba cepat- bearaktifitas sedikit tetapi ingin memperoleh hasil yang cepat dan untungnya besar. Budaya instant tentu harus dijauhi, dan begitu juga dengan budaya lain seperti budaya floating thinking- fikiran suka mengambang-, budaya senang melakukan rekayasa, budaya demam lomba penampilan, budaya demam mengambil barang kredit, budaya demam bergosip, budaya ABS- asal bapak senang, budaya otoriter dan suka membentak- bentak sampai kepada budaya hedonisme – kesukaaan untuk mencari kesenangan melulu. Poin- poin ini agaknya lebih bersifat refleksi terhadap fenomena dalam dunia pendidikan kita.
Mengapa refleksi di atas bisa menjadi fenomena dikalangan sebahagian kaum pendidik (?). Barangkali fenomena ini terjadi akibat sikap mental, atau sikap sejak awal.
Dahulu menjadi guru begitu mudah dan gampang. Kalau kuota guru masih kurang maka kuota ini bisa disisip dan bisa dipesan lewat memo orang- orang yang berkuasa di atas.maka terjaringlah guru- guru yang sebagian bukan the right man on the right place. Pada akhirnya bermunculanlah guru- guru seperti fenomena yang disebutkan di atas- yaitu guru guru yang kurang kritis dan berbudaya floating thingking, miskin kreatifitas, berbudaya instant, dan lain- lain.
Respon generasi muda juga menentukan eksistensi dan kualitas guru. Tetap saja pada banyak sekolah siswa tergolong pintar pada mulanya segan untuk memilih karir guru sebagai cita- cita mereka. Kalau ada itu pun hanya bagi segelintir siswa saja. Itu pun diakibatkan oleh faktor‘X”, seperti karena alasan ekonomi orangtua,atau agar tidak perlu susah payah mencari kerja.
Umumnya siswa yang tergolong pintar dengan tingkat ekonomi orangtua yang lebih mapan memilih universitas non kependidikan yang berada di pulau Jawa. Pilihan mereka untuk kategori karir guru jatuh pada pilihan yang ke sekian. Maka akibatnya kualitas guru- guru secara umum cendrung biasa- biasa saja. Adalah suatu hikmah sejak lapangan kerja menjadi makin sulit dan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi idaman bagi sebagian mahasiswa di universitas, karena PNS sudah memberi iming- iming hidup enak, ada uang lauk- pauk dan uang tujada (tunjangan daerah) maka mereka yang belajar di Universitas non kependidikan memutar haluan untuk menyerbu program akta kependidikan agar nanti bisa melamar menjadi guru. Tentu saja hal ini menjadi hak pribadi setiap warga negara.
Kini guru guru musti punya paradigma, bagaimana menjadi guru bermartabat dan profesional. Paradigma ini bisa dicapai kalau mereka mengembangkan diri. Mereka, misalnya, harus berpikir untuk memiliki kecerdasan berganda, karena kecerdasan berganda juga patut untuk dimiliki oleh guru- guru.
Adalah pilihan yang tidak bijak bila hanya anak didik saja yang diminta dan diusahakan untuk mengembangkan diri untuk memiliki kepintaran berganda. Sementara guru- gurunya dibiarkan saja memiliki kepintaran tunggal atau tidak pintar sama sekali sebagai seorang guru.
Bobi De Porter (2002), dengan bukunya Quantum Teaching, telah memberi kaum pendidik inspirasi tentang bagaimana untuk memiliki kepintaran berganda itu. Ia mengatakan bahwa orang (atau guru) yang memiliki kepintaran berganda harus menguasai atau memiliki bidang: seni, language, interpersonal, music, natural, body, intrapersonal dan logis.
Untuk mengimplementasikan konsep kepintaran berganda tersebut bagi diri sendiri maka setiap guru perlu untuk memiliki sense of art- rasa seni, mengembangkan kemampuan berbahasa lisan dan tulisan. Mereka perlu untuk melibatkan diri dalam pergaulan , memiliki teman yang luas, mengikuti organisasi, dan melakukan koresponden.
Pengembangan kepintaran berganda lain nya adalah untuk bidang natural. Mereka harus memahami prinsip “go back to the nature” memiliki rasa peduli pada alam dan lingkungan. Mereka perlu untuk melakukan rekreasi dan merasakan betapa alam ciptaan Tuhan itu begitu indah dan menyegarkan. Kemudian setiap guru perlu untuk memiliki badan yang bugar, mereka perlu berolahraga untuk mengeluarkan keringat agar jantung dan paru- paru selalu sehat. Untuk melengkapi konsep kepintaran berganda untuk poin interpersonal yang lain, maka mereka perlu melakukan kontemplasi- merenungan tentang kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan sikap- sikap positif. Kemudian mereka juga perlu mengembamgkan kemampuan berlogika.
Mengimplementasikan konsep kepintaran berganda – mutliplied intelligent- sungguh sangat bermanfaat bagi pengembangan diri dan untuk itu konsep ini harus dilaksanakan sekarang juga, tak perlu ditunggu- tunggu sampai datang hari esok. Sehubungan dengan konsep pengembangan kepintaran berganda, Agus Nggermanto (2003) juga memberikan sedikip resep. Ia mengatakan bahwa untuk memiliki kepintaran berganda maka setiap orang (guru) perlu untuk mengimplementasikan konsep multi intelegensi. Ini mencakup tiga unsur yaitu intelligent quotient, emotional quotient dan spiritual quotient, atau kecerdasan otak, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan otak mencakup unsur logis (matematika) dan linguistik (verbal atau bahasa). Kecerdasan emosional mencakup unsur interpersonal dan intrapersonal. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah bagaimana menghayati dan mengabdi kan diri - beribadah- kepada Khalik (Sang pencipta alam) ini.
Setelah memahami konsep kepintaran berganda, maka mereka juga perlu untuk mengembangkan karakter karakter positif- seperti karakter senang berfikir positif. Tokoh pendidikan Indonesia , Ki Hajar Dewantoro, sudah mewarisi kita konsep untuk memiliki kepintaran berganda, resepnya cukup sederhada yaitu: ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tutwuri handayani. Kalau sekarang banyak ajakan datang agar guru perlu mengubah diri untuk menjadi guru yang bermartabat dan guru profesional, maka salah satu wujud untuk menjadi guru yang demikian adalah melalui konsep pengembangan diri menjadi kaum pendidik dengan kepintaran berganda

GURU DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM



BAB I
PENDAHULUAN
By: Laludi
( Guru MAN Model Kendari )
Pada hakekatnya, penyelenggaraan dan keberhasilan proses pendidikan pada semua jenjang dan semua satuan pendidikan ditentukan oleh faktor guru, disamping perlunya unsur-unsur penunjang lainnya. Kualitas kemampuan guru yang rendah akan berdampak pada rendahnya mutu pendidikan. Sedangkan derajat kemampuan guru sejak mula disiapkan pada suatu lembaga pendidikan guru, baik secara berjenjang maupun secara keseluruhan.
Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan ditempat-tempat tertentu, tidak mesti dilembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, disurau/musala, di rumah, dan sebagainya.
Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Kewibawaan menyebabkan guru dihormati, sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat mendidik anak didik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia. Dengan kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat, maka dipundak guru diberi tugas dan tanggung jawab yang berat. Sebab tanggung jawab guru tidak hanya dinding disekolah, tetapi juga diluar sekolah.
Karena itu, tepatlah apa yang dikatakan oleh Ametembun, bahwa guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual ataupun klasikal, baik di sekolah maupun diluar sekolah.
Disamping itu guru merupakan titik sentral, yaitu sebagai ujung tombak dilapangan dalam pengembangan kurikulum. Guru adalah orang yang tahu persis situasi dan kondisi diterapkannya kurikulum yang berlaku. Selain itu, guru bertanggung jawab atas terciptanya hasil belajar yang diinginkan (Raka Joni, 1983). Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2007) keberhasilan belajar-mengajar antara lain ditentukan oleh kemampuan profesional dan pribadi guru. Guru sebagai orang yang berkewajiban merencanakan pembelajaran (instruction palnning) selalu mengacu kepada komponen-komponen kurikulum yang berlaku.
Pengembangan kurikulum adalah merupakan suatu proses perencanaan menetapkan berbagai kebutuhan, mengadakan identifikasi tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran, menyusun persiapan instruksi, memenuhi segala persyaratan kebudayaan, sosial dan pribadi yang dilayani oleh kurikulum ( Mulyani Sumantri, 1988). Oleh karena itu perencanaan kurikulum harus disertai dengan analisis bertalian dengan berbagai akibat tentang pendekatan-pendekatan yang dilakukan sebelum instruksi tersebut dilaksanakan. Perencanaan kurikulum harus merupakan suatu proses pengembangan suatu misi berdasarkan nilai-nilai; pengembangan kebijakan; menetapkan beberapa tujuan, sasaran, dan standar; memilih aktivitas belajar; menjamin implementasi yang tepat; dan sikap mengadakan revisi atau perbaikan apabila terjadi kesalahan dan melakukan peninjauan kembali. Sekalipun demikian usaha tersebut harus selalu berdasarkan kemampuan dana, tenaga dan waktu yang tersedia.
Pengembangan kurikulum sebaiknya dilakukan berdasarkan teori yang telah dikonseptualisasikan secara teliti dan hati-hati, dengan demikian berbagai pengaruh yang tidak sesuai dengan pembaharuan maupun ketidakseimbangan kurikulum dapat dihilangkan. 
BAB II
GURU DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Guru Sebagai Pendidik Profesional
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantikan. Mendidik adalah pekerjaan profesional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional (Sukmadinata, 1997).
Sebagai pendidik profesional guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan profesional tenaga kependidikan, yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu:
1. Memiliki fungsi dan signifikansi sosial
2. Memiliki keahlian/keterampilan tertentu
3. Keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah
4. Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas
5. Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama
6. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional
7. Memiliki kode etik
8. Kebebasan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya.
9. Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi
10. Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.
Mungkin belum seluruh ciri profesi diatas telah dimiliki secara kokoh (sempurna) oleh para pendidik kita. Sebab sebagai suatu profesi terbuka, masih ada anggapan masyarakat bahwa setiap orang bisa menjadi pendidik., atau setiap orang bisa mendidik. Memang hal ini sukar dihindari, walaupun telah ada batas yang jelas antara pendidik formal dengan pendidik informal, atau antara pendidik profesional dengan nonprofesional, tetapi orang-orang yang tidak memiliki profesi dalam bidang pendidikan juga melaksanakan tugas-tugas pendidikan formal profesional dan menganggap dirinya telah memiliki profesi tersebut. Pada sisi lain, mengingkat banyaknya jenis dan jenjang pendidikan yang harus disediakan bagi berbagai kategori peserta didik, juga tidak bisa dihindari banyaknya tenaga nonprofesional pendidikan yang melaksanakan tugas-tugas pendidikan.
Louis E. Raths (1964) mengemukakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh guru.
1. Explaining, informing, showing how.
2. Initiating, directing, administrating.
3. Unifyng the group.
4. Giving security
5. Clarifying attitude, beliefs, problems
6. Diagnosing learning problems
7. Making curriculum materials
8. Evaluating, recording, reporting
9. Enriching community activities
10. Organizing and arranging classroom
11. Participating in school activities
12. Participating in profesional and civic life
Kedua belas kemampuan yang dikemukan oleh Raths berkenaan dengan pelaksanaan pengajaran dan pengembangan kemampuan dalam mengajar. Untuk lebih jelasnya tentang kemampuan profesional guru akan dijelaskan lebih rinci oleh pemakalah berikutnya.
B. Tenaga-Tenaga Profesional
Oemar Hamalik (2003) menjelaskan, pengajaran dilaksanakan oleh tenaga-tenaga profesional dan tenaga nonprofesional bertingkat-tingkat persiapannya. Tingkat profesionalisasi itu didasarkan pada kemampuan khusus, pengalaman latar belakang akademis, ijazah, dan gelar yang dimilikinya.
Menurut Chamberlin (1969) terdiri dari : cadet teacher, executive teacher, lead teacher, master teacher, provisional teacher, profesional teacher, regular teacher, senior teacher, special teacher, teacher assistant, teacher intern, dan teacher leader.
Semua jenis guru tersebut bertanggung jawab mengatur, walaupun tingkat otoritasnya tidak sama dalam sistem pengajaran. Ada empat kategori dari semua jenis staf profesional tersebut, karena beberapa diantaranya menunjukkan kesamaan-kesamaan tertentu.
1. Guru pelaksana ( executive teacher)
Executive teacher dan team leader hampir sinonim. Keduanya bertanggung jawab melaksanakan kegiatan-kegiatan instruksional, bahkan merupakan figur kunci dalam pengajaran sekolah. Mereka bertanggung jawab menyusun rencana dan melaksankan pekerjaan sehari-hari yang menjadi tugas staf pengajar. Kedua jenis guru tersebut juga dipandang sebagai master teacher dan melakukan serta membina kelas-kelas yang besar ( kelompok besar).jenis staf ini harus memiliki persiapan dulu pada tingkat sarjana ( master degree), telah memiliki pengalaman mengajar dikelas.
2. Guru profesional (profesional teacher)
Senior teacher, master teacher, lead teacher, dan profesional teacher dikelompokkan dalam kategori ini. Guru yang profesional merupakan orang yang telah menempuh program pendidikan guru dan memiliki tingkat master serta telah mendapat ijazah negara dan telah berpengalaman dalam mengajar pada kelas-kelas besar. Guru-guru ini diharapkan dan dikualifikasikan untuk mengajar dikelas yang besar dan bertindak sebagai pemimpin bagi para anggota staf lainnya dalam membantu persiapan akademis sesuai dengan minatnya.
3. Guru provisional ( provisional teacher)
Anggota staf yang telah menempuh program pendidikan guru selama empat tahun dan telah memperoleh ijazah negara tetapi belum memiliki atau masih kurang pengalaman mengajar. Tingkat guru ini sering disebut sebagai regular teacher, guru baru ( beginning teacher), atau guru provisional.
4. Guru cadet (cadet teacher)
Dalam kategori ini termasuk guru asisten, guru intern, dan guru kadet (calon guru). Mereka tergolong guru yang belum menyelesaikan pendidikan guru yang berijazah normal, tetapi baru memenuhi kualifikasi minimum atau kualifikasi yang darurat. Pada anggota yang baru ini dapat ditingkatkan kualifikasinya oleh organisasi tim melalui pendidikan in-service, sehingga dapat sepenuhnya menjadi anggota tim bersangkutan.
Guru kadet bertugas dibawah supervisi dari guru-guru yang telah berpengalaman, yakni guru-guru profesional.
5. Guru khusus ( special teacher)
Guru tipe ini disebut sebagai guru khusus atau guru spesialis ( ahli dalam bidang tertentu). Di tempatkan dalam kedudukan staf dengan tugas memberikan pengajaran atau pelayanan khusus dalam daerah tertentu dalam kurikuler seperti : seni, musik, bimbingan dan layanan, dan pendidikan jasmani.
C. Tenaga Nonprofesional
Tenaga nonprofesional adalah tenaga-tenaga yang terlatih untuk bertindak sebagai tenaga pembantu tenaga profesional. Tenaga nonprofesional ini bukan saja memberikan peluang yang lebih besar bagi tenaga-tenaga profesional untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan profesional, akan tetapi juga memperkaya pengalaman siswa dan membebaskan tenaga profesional dari tugas-tugas yang bukan profesional. Sebagian besar tugas yang dilakukan uutuk membantu guru mempersiapkan bahan-bahan instruksional dan menilai siswa. Selain itu berfungsi membantu administrasi pusat media instruksional, memelihara peralatan audio visual dan media instruksional lainnya dan membantu staf mempergunakan perlengkapan dan alat bantu lainnya.
D. Guru Sebagai Pembimbing Belajar
Telah dijelaskan bahwa dalam kurikulum menurut Sukmadinata (1997) dibedakan antara official atau written curriculum dengan actual curriculum. Official atau written curriculum merupakan kurikulum resmi yang tertulis, yang merupakan acuan bagi pelaksana pengajaran dalam kelas. Actual curriculum merupakan kurikulum nyata yang dilaksanakan oleh guru dan merupakan implementasi dari written curriculum di dalam kelas. Berbagai para ahli menyatakan bahwa betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), hasilnya sangat bergantung pada apa yang dilakuikan oleh guru di dalam kelas (actual). Dengan demikian, guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum.
Selanjutnya Sukmadinata mengatakan bahwa, dalam konsep pendidikan klasik, guru berperan sebagai penerus dan penyampai ilmu, sedangkan dalam konsep teknologi pendidikan, guru adalah pelatih kemampuan. Dalam konsep interaksional guru berperan sebagai mitra belajar, sedangkan dalam konsep pendidikan pribadi guru lebih berperan sebagai pengarah, pendorong dan pembimbing.
Pada umumnya pelaksanaan pendidikan bersifat eklektik, mungkin mencampurkan dua, tiga bahkan mungkin keempat-empatnya. Oleh karena itu perlu variasi peran guru dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Dalam proses belajar-mengajar atau pada suatu waktu tertentu mungkin salah satu peranan lebih menonjol dari yang lainnya. Keempat ragam peranan tersebut sesungguhnya dapat ditempatkan dalam suatu kontinum, seperti pada bagan.
PENYAMPAI PENGETAHUAN
PELATIH KEMAMPUAN
MITRA
BELAJAR
PENGARAH
PEMBIMBING
Para pelaksana pendidikan termasuk guru sering tidak melihat keempat peranan tersebut terletak dalam kontinum. Mereka melihatnya sebagai dua ekstrem. Pada suatu ujung guru berperan sebagai penyampai ilmu dan pelatih dalam arti drilling, dan pada ujung lain peran guru sebagai pengarah, pembimbing, pendorong, fasilitator, dan sebagainya. Praktik pendidikan yang memberikan peranan kepada guru hanya sebagai penyampai ilmu atau pelatih dianggap model lama., sedangkan yang memberikan peranan sebagai pengarah, pendorong, pembimbing dipandang model baru. Namun dalam praktik yang lebih penting adalah mempertimbangkan, konsep pendidikan mana yang paling tepat untuk mencapai tujuan tertentu kelompok peserta didik tertentu, pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, dalam waktu dan kondisi tertentu pula.
Meskipun demikian ada satu hal yang menjadi acuan bagi guru, dalam memilih kegiatan yang akan dilakukan serta peranan yang akan dimainkannya, yaitu siswa. Tujuan utama kegiatan guru dalam mengajar ialah mempengaruhi perubahan pola tingkah laku para siswanya. Perubahan itu karena guru memberikan perlakuan-perlakuan. Upaya guru memberikan perlakuan tersebut erat kaitannya tingkat harapan dan perubahan yang diinginkannya. Tujuan lainnya adalah mendorong dan meningkatkan kemampuan sebagai hasil belajar, dengan cara itu, guru dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku siswa.
Hasil dan kemajuan belajar yang dicapai siswa ditentukan juga oleh bentuk hubungan antara guru dan siswa, antara guru dan administrator, antara guru dan orang tua siswa. Hubungan guru dan siswa menjadi syarat mutlak, bukan hanya hubungan sebagai pembimbing dan yang dibimbing tetapi sebagai mitra belajar.
Sukmadinata (1997) mengemukakan ada tiga langkah yang ditempuh oleh seorang guru dalam mengoptimalkan perkembangan siswa, yaitu:
1. Mendiagnosis kemampuan dan perkembangan siswa.
Guru harus mengenal dan memahami siswa dengan baik, memahami tahap perkembangan yang telah dicapainya, kemampuan-kemampuannya, keunggulan dan kekurangannya, hambatan yang dihadapai serta faktor dominan yang mempengaruhinya.
2. Memilih cara pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa.
Salah satu prinsip pengajaran yang efektif, adalah menggunakan pendekatan atau metode dan media yang bervariasi, “pendekatan multi metode-multimedia.
3. Kegiatan pembimbingan.
Pemilihan dan penggunaan metode dan media yang bervariasi tidak dengan sendirinya, akan mengoptimalkan pembelajaran siswa. Pelaksanaan metode pembelajaran tersebut perlu disertai dengan usaha-usaha pemberian dorongan, bantuan, pengawasan, pengarahan dan bimbingan dari guru. Pembimbingan ini diberikan pada saat kegiatan pembelajaran, atau diluar kegiatan pembelajaran.
E. Peranan Guru Dalam Pengembangan Kurikulum
Sukmadinata (1997) menjelaskan dilihat dari segi pengelolaannya, pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi, desentralisasi, dan sentral-desentral. Dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi, kurikulum disusun oleh tim khusus di tingkat pusat. Kurikulum bersifat uniform untuk seluruh negara, daerah, atau jenjang/ jenis sekolah.
Tujuan utama pengembangan kurikulum yang uniform ini adalah untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memberikan standar penguasaan yang sama bagi seluuruh wilayah.
Model pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi mempunyai beberapa kelebihan disamping juga kelemahan. Kelebihannya selain mengandung terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, dan ini mudah dikelola, dimonitor dan dievaluasi, serta lebih hemat dilihat dari segi biaya, waktu, dan fasilitas.
Model pengembangan ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, menyeragamkan kondisi yang berbeda-beda keadaan dan tahap perkembangan intelek, alam dan sosial budayanya, sukar sekali. Penyeragaman antara lain dapat menghambat kreativitas, dapat memperlambat kemajuan sekolah yang sudah mapan dan menyeret perkembangan sekolah yang masih terbelakang. Kedua, ketidak adilan dalam menilai hasil. Dalam kurikulum yang seragam penilaian dapat dilakukan dengan seragam pula, yaitu kesamaan dalam segi yang dinilai, prosedur dan alat penilaian serta standar penilaian. Ketiga, penggunaan standar yang sama untuk semua sekolah di seluruh wilayah akan memberikan gambaran hasil yang beragam dan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat ekstrem.
Terlepas dari pro dan kontra, kelebihan dan kekurangan kita akan mencoba melihat peranan guru didalamnya. Peranan guru baik dalam model sentralisasi maupun desentralisasi dapat dilihat dalam tiga tahap, yaitu tahap perancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Kurikulum juga dapat dilihat dalam lingkup makro dan juga mikro. Pengembangan kurikulum pada tahap perancangan berkenaan dengan seluruh kegiatan menghasilkan dokumen kurikulum, atau kurikulum tertulis. Pelaksanaan kurikulum atau disebut juga implementasi kurikulum, meliputi kegiatan menerapkan semua rancangan yang tercantum dalam kurikulum tertulis. Evaluasi kurikulum merupakan kegiatan menilai pelaksanaan dan hasil-hasil penggunaan suatu kurikulum. Kurikulum makro yaitu kurikulum yang menyeluruh meliputi semua komponen, atau meliputi seluruh wilayah, atau seluruh siswa pada jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum mikro merupakan jabaran atau rincian dari kurikulum makro, atau rancangan bagi pelaksanaan pengajaran dikelas.
1. Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi.
Dalam kurikulum yang bersifat sentralisasi, guru tidak mempunyai peranan dalam perancangan, dan evaluasi kurikulum yang bersifat makro, mereka lebih berperan dalam kurikulum mikro ( Sukmadinata, 1997). Kurikulum makro disusun oleh tim atau komisi khusus, yang terdiri atas para ahli. Penyusunan kurikulum mikro dijabarkan dari kurikulum makro. Guru menyusun kurikulum dalam bidangnya untuk jangka waktu dalam satu tahun, satu semester, satu catur wulan, beberapa minggu ataupun beberapa hari saja. Kurikulum untuk satu tahun, satu semester atau satu catur wulan disebut juga program tahunan, semesteran, catur wulan, sedangkan kurikulum untuk beberapa minggu atau hari disebut satuan pelajaran. Program tahunan, semesteran, catur wulanan, ataupun satuan pelajaran memiliki komponen-komponen yang sama yaitu tujuan, bahan pelajaran, metode dan media pembelajaran, dan evaluasi, hanya keluasan dan kedalamannya berbeda-beda.
Menjadi tugas gurulah menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat, memilih dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, minat dan tahap perkembangan anak, memiliki metode dan media mengajar yang bervariasi , serta menyusun program dan alat evaluasi tepat. Suatu kurikulum yang tersusun sistematis dan rinci akan sangat memudahkan guru dalam implementasinya. Walaupun kurikulum sudah tersusun dengan berstruktur, tetapi guru masih mempunyai tugas untuk mengadakan penyempurnaan dan penyesuaian-penyesuaian.
Implementasi kurikulum hampir seluruhnya bergantung pada kreaktivitas, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan guru. Guru hendaknya mampu memilih dan menciptakan situasi-situasi belajar yang menggairahkan siswa, mampu memilih dan melaksanakan metode mengajar yang sesuai dengan kemampuan siswa, bahan pelajaran dan banyak mengaktifkan siswa. Guru hendaknya mampu memilih, menyusun dan melaksanakan evaluasi, baik untuk mengevaluasi perkembangan atau hasil belajar siswa untuk menialai efisiensi pelaksanaannya itu senndiri.
Guru juga berkewajiban untuk menjelaskan kepada para siswanya tentang apa yang akan dicapai dengan pengajarannya. Ia juga hendaknya melakukan berbagai upaya untuk membangkitkan motivasi belajar, menciptakan situasi kompetitif dan kooperatif, memberikan pengarahan dan bimbingan. Guru memberikan tugas tugas individual atau kelompok yang akan memperkaya dan memperdalam penguasaan siswa. Dalam kondisi ideal guru juga berperan sebagai pembimbing, breusaha memahami secara saksama potensi dan kelemahan siswa, serta membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa.
2. Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi
Kurikulum desentralisasi disusun sekolah atau kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam ini didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah atau sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian kurikulum terutama isinya sangat beragam, tiap sekolah atau wilayah mempunyai kurikulum sendiri, tetapi kurikulum ini cukup realistik.
Bentuk kurikulum seperti ini mempunyai beberapa kelebihan disamping juga kekurangan. Kelebihan-kelebihannya, diantaranya (1) kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat, (2) kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah, baik kemampuan profesional, finansial maupun manajerial, (3) disusun oleh guru-guru sendiri dengan demikian sangat memudahkan dalam pelaksanaannya, (4) ada motivasi kepada sekolah ( kepala sekolah, guru) untuk mengembangkan diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetisi dalam pengembangan kurikulum.
Beberapa kelemahan bentuk kurkulum ini, adalah : (1) tidak adanya keseragaman, untuk situasi yang membutuhkan keseragaman demi persatuan dan kesatuan nasional, bentuk ini kurang tepat, (2) tidak ada standar penilaian yang sama, sehingga sukar untuk diperbandingkan keadaan dan kemajuan suatu sekolah/wilayah dengan sekolah/wilayah lainnya, (3) adanya kesulitan bila terjadi perpindahan siswa ke sekolah/wilayah lain, (4) sukar untuk mengadakan pengelolaan dan penilaian secara nasional, (5) belum semua sekolah/daerah mempunyai kesiapan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri.
Untuk mengatasi kelemahan kedua bentuk kurikulum tersebut, bentuk campuran antara keduanya dapat digunakan, yaitu bentuk sentral-desentral. Beberapa waktu yang lampau di Perguruan Tinggi di Indonesia digunakan model pengembangan kurikulum yang sifatnya desentralisasi. Tiap universitas, institut, atau akademi mempunyai otonomi untum menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri, satu berbeda denggan lainnya. Sebagai contoh, pada IKIP atau FKIP ada kelompok-kelompok mata kuliah dasar umum, dasar keguruan, dan proses belajar mengajar yang seluruhnya seragam, ditentukan atau disusun di tingkat nasional. Perbedaan antara IKIP dengan IKIP lainnya adalah pada kelompok mata kuliah kejuruan atau spesialisasi. Bentuk kurikulum yang berlaku pada IKIP, FKIP ini mungkin dapat diklasifikasi sebagai kurikulum sentralisasi-desentralisasi.
Dalam kurikulum yang dikelola secara desentralisasi dan sampai batas-batas tertentu juga yang sentralisasi-desen-tralisasi, peranan guru dalam pengembangan kurikulum lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara sentralisasi. Guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaran kurikulum induk kedalam program tahunan/semester/catur wulan, atau satuan pelajaran, tetapi juga di dalam menysun kurikulum yang menyeluruh untuk sekolahnya. Guru-guru turut memberi andil dalam merumuskan setiap komponen dan unsur dari kurikulum. Dalam kegiatan seperti itu, mereka mempunyai perasaan turut memiliki kurikulum dan terdorong untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dirinya dalam pengembangan kurikulum.
Karena guru sejak awal penyusunan kurikulum telah diikut sertakan, mereka akan memahami dan benar-benar menguasai kurikulumnya, dengan demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kelas akan lebih tepat dan lancar. Guru bukan hanya berperan sebagai pengguna, tetapi perencana, pemikir, penyusun, pengembang dan juga pelaksana dan evaluator kurikulum.
Oleh karena itu menurut Oemar Hamalik, (2003) pembuatan keputusan dalam pembinaan kurikulum bukan saja menjadi tanggung jawab para perencana kurikulum, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab para guru di sekolah. Para perencana kurikulum perlu membuat keputusan yang tepat, rasional, dan sistematis. Pembuatan keputusan itu tidak dapat dibuat secara acak-acakan, melainkan harus berdasarkan informasi dan data yang objektif. Untuk itu terlebih dahulu perlu diadakan evaluasi yang objektif terhadapa kurikulum yang berlaku. Evaluasi memegang peranan yang penting dalam membuat keputusan kurikuler, sehingga dapat diketahui hasil-hasil kurikulum yang telah dilaksanakan, apakah kelemahan dan kekuatannya dan selanjutnya dapat dipikirkan mengenai perbaikan-perbaikan yang diperlukan ( Thorndika dan Hagen, 1977).
Demikian pula guru harus mampu membuat aneka macam keputusan dalam pembinaan kurikulum. Pada dasarnya betapa pun baiknya kurikulum, berhasil atau tidaknya akan sangat bergantung kepada tindakan-tindakan guru disekolah dalam melaksanakan kurikulum itu (Oemar Hamalik, 2003). Berdasarkan kenyataan bahwa guru tahu situasi dan kondisi serta bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar, maka sudah sewajarnya guru berperan dalam pengembangan kurikulum.
Dimyati dan Mudjiono (2002), menjelaskan peran guru dalam pengembangan kurikulum diwujudkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Merumuskan tujuan khusus pengajaran berdasarkan tujuan-tujuan kurikulum di atasnya dan karakteristik pembelajar, mata pelajaran/bidang studi, dan karakteristik situasi kondisi sekolah/kelas.
2. Merencanakan kegiatan pembelajaran yang dapat secara efektif membantu pebelajar mencapai tujuan yang ditetapkan.
3. Menerapkan rencana/program pembelajaran yang dirumuskan dalam situasi pembelajaran yang nyata.
4. Mengevaluasi hasil dan proses belajar pada pebelajar.
5. Mengevaluasi interaksi antara komponen-komponen kurikulum yang di implementasikan.
F. Guru Sebagai Pengembang Kurikulum Di Sekolah
Pada pembahasan sebelumnya, kurikulum mikro merupakan jabaran atau rincian dari kurikulum makro, atau rancangan bagi pelaksanaan pengajaran dikelas atau menjadi peran guru dalam mengembangkan kurikulum di sekolah.
Ada beberapa kegiatan guru disekolah menurut Rusman (2008) dalam upayanya mengembangkan kurikulum yang berlaku disekolah, yang meliputi; merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kurikulum.
1. Aktivitas guru dalam merencanakan kurikulum
Pada dasarnya kegiatan merencanakan dapat meliputi; penentuan tujuan pengajaran, menentukan bahan pelajaran, menentukan alat dan metode dan alat pengajaran dan merencanakan penilaian pengajaran ( Sudjana, 1989). Dengan demikian maka kegiatan merencanakan merupakan upaya yang sistematis dalam upaya mencapai tujuan, melalui perencanaan yang menanggapi diharapkan akan mempermudah proses belajar mengajar yang kondusif.
Dalam kegiatan perencanaan langkah yang pertama harus ditempuh oleh guru adalah menentukan tujuan yang hendak dicapai. Karena berangkat dari tujuan yang konkrit inilah maka akan dapat dijadikan patokan dalam melakukan langkah dan kegiatan yang harus ditempuh termasuk cara bagaimana melaksanakannya. Dalam pandangan Zais (1976) ada beberapa istilah yang berkenaan dengan tujuan, antara lain : aim, goal dan objective. Dalam Studi ini yang dimaksud tujuan objective, yaitu tujuan pokok bahasan yang lebih spesifik yang merupakan hasil proses belajar mengajar. Tujuan pengajaran ini mengandung muatan yang terjadi bahan pelajaran. Sedangkan Hilda Taba (1962) memberikan beberapa petunjuk tentang cara merumuskan tujuan pengajaran yaitu:
· Tujuan hendaknya mengandung unsur proses dan produk
· Tujuan harus bersifat spesifik dan dinyatakan dalam bentuk perilaku nyata
· Mengandung pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan.
· Pencapaian tujuan kadang kala membutuhkan waktu relatif lama ( tak dapat dicapai dengan segera)
· Harus realitis dan dapat dimaknai sebagai kegiatan belajar atau pengalaman belajar tertentu.
· Harus komprehensif, artinya mencakup segala tujuan yang ingin di capai sekolah.
Dalam merencanakan proses pembelajaran maka langkah kedua adalah menetapkan bahan pelajaran. Dalam pandangan Ansary (1988) bahan pelajaran mencakup tiga komponen, yaitu: ilmu pengetahuan, proses dan nilai-nilai. Dalam hal ini komponen tersebut dapat dirinci sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai sekolah.
Dalam menentukan bahan pelajaran bukanlah pekerjaan yang mudah akan tetapi membutuhkan konsentrasi yang serius, karena bahan pelajaran harus disesuaikan dengan perkembangan sosial, disamping itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dalam menentukan bahan pelajaran perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: signifikansi, kegunaan minat dan perkembangan manusia ( Zais, 1976). Bahkan yang harus diperhatikan adalah bagaimana bahan pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik dirancang dan diorganisir dengan baik. Ansyar (1988) mengatakan bahwa organisasi kurikulum mencakup urutan, aturan dan integrasi kegiatan-kegiatan sedemikian rupa guna mencapai tujuan-tujuan.
Sedangkan Sukmadinata (1988) menjelaskan beberapa jenis organisasi kurikulum yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pengajaran yaitu sebagai berikut: (a) organisasi kurikulum berdasarkan atas pelajaran, (b) organisasi kurikulum berdasarkan kebutuhan anak, (c) organisasi kurikulum berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, oleh karena itu guru sebagai pengembang kurikulum disekolah sudah seharusnya data memilih jenis organisasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.
Penentuan motode mengajar merupakan langkah ketiga bagi tugas guru sebagai pengembang kurikulum di sekolah. Menentukan metode mengajar ini erat kaitannya dengan pemilihan strategi belajar mengajar yang paling efektif dan efisien dalam melakukan proses belajar mengajar guna mencapai tujuan pengajaran. Waridjan dkk. (1984) mengartikan strategi pengajaran sebagai kegiatan yang dipilih guru dalam proses belajar mengajar, yang dapat diberikan kemudahan atau fasilitas kepada anak didik menuju tercapainya tujuan pengajaran.
Sedangkan langkah keempat dalam upaya merencanakan proses belajar mengajar adalah merencanakan penilaian pelajaran. Penilaian pada dasarnya adalah suatu proses menentukan nilai dari suatu obyek atau peristiwa dalam konteks situasi tertentu ( Sudjana dan Ibrahim, 1989). Disisi lain Hasan (1988) mengatakan bahwa penilaian berbeda dengan tes dan pengukuran. Tes merupakan bagian integral dari pengukuran, sedangkan pengukuran hanya merupakan salah satu langkah yang mungkin digunakan dalam kegiatan penilaian.
2. Aktivitas guru dalam melaksanakan kurikulum
Melaksanakan kurikulum adalah merupakan kegiatan inti dari proses perencanaan, karena tidak akan mempunyai makna apa-apa ketika rencana tersebut tidak dapat direncanakan (Rusman, 2008). Melaksanakan kurikulum yang dimaksudkan dalam studi ini guru mampu mengimplementasikannya dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar pada dasarnya dapat berlangsung di dalam dan diluar sekolah dan di dalam jam pelajaran atau diluar jam pelajaran yang telah dijadwalkan (Dedikbud, 1991).
Dalam melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar, seyogyanya seorang guru memahami langkah-langkah yang harus ditempuh dalam proses belajar mengajar meliputi : tahap permulaan, tahap pengajaran dan tahap penilaian serta tindak lanjut (Sudjana, 1989). Tahap permulaan adalah tahap untuk mengkondisikan siswa agar dapat mengikuti pelajaran secara kondusif, sedangkan tahap pengajaran adalah merupakan tahap inti, dimana guru berupaya menyampaikan pelajaran yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dalam melaksanakan tahap ini maka metode mengajar akan berpengaruh pada pendekatan yang akan dilakukan oleh seorang guru. Misalnya seorang guru akan mengaktifkan anak atau peran anak menjadi lebih dominan, maka metode CBSA adalah metode yang tepat.
3. Aktivitas guru dalam menilai kurikulum
Pada tahap ini guru melakukan penilaian dengan maksud untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan, sehingga diharapkan dapat ditindak lanjuti menuju perbaikan dimasa yang akan datang. Penilaian kurikulum bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, hal ini didasarkan pada banyaknya aspek yang harus dinilai dan banyaknya pihak yang terkait dalam penilaian. Bahkan ada sementara kalangan yang mengatakan bahwa jika ingin melakukan penilaian terhadap penilaian kurikulum maka yang pertama adalah harus memahami terlebih dahulu makna dari penilaian itu sendiri (Hasan, 1998).
Guru sebagai pengembang kurikulum disekolah harus senantiasa melakukan evaluasi atau penilaian kurikulum secara kontinyu dan komprehensip. Penilaian terhadap kurikulum sesungguhnya sangat luas, oleh karena itu untuk dapat melakukan penilaian secara akurat terlebih dahulu, harus dipahami pengertian kurikulum yang dianutnya. Hal ini karena penilaian terhadap kurikulum berarti menyangkut kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai rencana, kurikulum sebagai hasil, kurikulum sebagai proses dan kurikulum sebagai hasil dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan kemampuan guru sebagai pengembang kurikulum disekolah, maka sangatlah relevan uraian-uraian yang dikemukakan di atas. Dikatakan demikian, karena dalam melaksanakan tugasnya seorang guru dituntut mampu melaksanakan aktivitasnnya mulai dari merencanakan kurikulum, melaksanakan kurikulum, dan mampu menilai kurikulum tersebut. Sehingga guru dituntut mampu mengaktualisasikan dirinya dengan seoptimal mungkin.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas memberikan gambaran kepada kita, bahwa guru memegang peranan yang penting di dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum serta penyelenggaraan pengajaran di sekolah.
Dimyati dan Mudjiono (2002), menjelaskan peran guru dalam pengembangan kurikulum diwujudkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Merumuskan tujuan khusus pengajaran berdasarkan tujuan-tujuan kurikulum di atasnya dan karakteristik pembelajar, mata pelajaran/bidang studi, dan karakteristik situasi kondisi sekolah/kelas.
2. Merencanakan kegiatan pembelajaran yang dapat secara efektif membantu pebelajar mencapai tujuan yang ditetapkan.
3. Menerapkan rencana/program pembelajaran yang dirumuskan dalam situasi pembelajaran yang nyata.
4. Mengevaluasi hasil dan proses belajar pada pebelajar.
5. Mengevaluasi interaksi antara komponen-komponen kurikulum yang di implementasikan.
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan kurikulum, paling tidak para guru harus mampu berpartisipasi, baik dalam perencanaan maupun dalam evaluasi kurikulum. Dalam hubungan inilah guru harus memiliki kemampuan membuat suatu keputusan berdasarkan hasil evaluasi dalam kerangka suatu sistem. Untuk melaksanakan peran dan fungsi tersebut, guru perlu mengenal dengan baik berbagai model pendekatan perencanaan kurikulum. Dewasa ini pendekatan sistem dan pendekatan interdisipliner lebih banyak digunakan. Oleh karena itu perlu variasi peran guru dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran.
Pada hakekatnya pelaksanaan pendidikan disekolah adalah menjadi tanggung jawab guru, baik selaku tenaga profesional maupun tenaga non profesional. Kedua jenis tenaga kependidikan ini masing-masing memiliki tanggung jawab dan tugas pekerjaan sendiri-sendiri dan menuntut kompetensi-kompetensi yang serasi dengan tugasnya.
Referensi
Oemar Hamalik ( 2003), Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: Bumi Aksara
Dimyati dan Mudjiono (2002), Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta
Nana Syaodih Sukmadinata, ( 2004) Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rusman (2008), Manajemen Kurikulum, Bandung: SPS Universitas Pendidikan Indonesia.
Syaiful Bahri Djamarah (2000), Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta.

KLASIFIKASI MEDIA PEMEBELAJARAN


KLASIFIKASI MEDIA
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang efektivitas dan efisiensinya akan sangat ditentukan oleh kualitas komponen pendidikan. Komponen guru, siswa, materi pelajaran, metode pembelajaran, serta desain pembelajaran semuanya mendukung secara simultan bagi keberhasilan pendidikan, yang ditunjang dengan menggunakan bantuan media pembelajaran.
Dalam lingkup pendidikan terutama dalam proses pembelajaran pentingnya penggunaan media yang membantu proses pembelajaran sudah mulai dirasakan. Pengelolaan alat bantu pembelajaran sudah sangat dibutuhkan. Dengan semakin meluasnya kemajuan di bidang komunikasi dan teknologi, khususnya teknologi informasi akan sangat berpengaruh terhadap penyusunan dan implementasi strategi pembelajaran. Melalui kemajuan tersebut para guru dapat menggunakan berbagai media sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran.
Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi yang didalamnya selalu melibatkan tiga komponen pokok, yaitu komponen pengirim pesan (guru), komponen penerima pesan (siswa) dan komponen pesan itu sendiri, yang biasanya berupa materi pelajaran. Terkadang dalam proses pembelajaran terjadi kegagalan komunikasi yang dapat menyebabkan kurang optimalnya materi pelajaran atau pesan yang disampaikan guru kepada siswa dan untuk menghindari hal ini maka diperlukan berbagai media yang dapat digunakan guru dalam menyusun strategi pembelajaran.
Pada dasarnya media yang banyak digunakan untuk pembelajaran adalah media komunikasi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam pengklasifikasian media, misalnya media dilihat dari tekhnik yang digunakan pada media tersebut, misalnya seperti gambar, rekaman audio, fotografi, kemudian ada yang dilihat dari cara menyampaikan pesan seperti menggunakan televisi dll. Masih banyak ciri yang digunakan dalam mengelompokkan media dan tidaklah mudah untuk menyusun klasifikasi tunggal yang mencakup seluruh media, faktor lain yang mempersulit klasifikasi ini adalah apa yang termasuk media dan apa yang tidak termasuk media.
B. Klasifikasi dan Jenis Media Pembelajaran
Karakteristik dan kemampuan masing-masing media perlu diperhatikan oleh guru agar mereka dapat memilih media mana yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Sebagai contoh media kaset audio, merupakan media auditif yang mengajarkan topik-topik pembelajaran yang bersifat verbal seperti pengucapan (pronounciation) bahasa asing. Untuk pengajaran bahasa asing media ini tergolong tepat karena bila secara langsung diberikan tanpa media sering terjadi ketidaktepatan yang akurat dalam pengucapan pengulangan dan sebagainya. Pembuatan media kaset audio ini termasuk mudah, hanya membutuhkan alat perekam dan narasumber yang dapat berbahasa asing, sementara itu pemanfaatannya menggunakan alat yang sama pula.
Dengan masuknya berbagai pengaruh kedalam khasanah pendidikan seperti ilmu cetak mencetak, tingkah laku (behaviourisme), komunikasi dan perkembangan teknologi elektronik, media dalam perkembangannya tampil dalam berbagai jenis dan format dengan ciri-ciri dan kemampuannya sendiri. Dari sini maka muncullah usaha untuk melakukan penataan terhadap media yaitu pengelompokkan atau klasifikasi menurut kesamaan ciri dan karakteristiknya. Seperti yang diuraikan di bawah ini :
1. Taksonomi menurut Rudy Bretz
Bretz mengidentifikasikan ciri utama dari media menjadi tiga unsur pokok yaitu suara, visual dan gerak. Visual dibeakan menjadi tiga yaitu gambar, garis dan symbol yang merupakan suatu kontinum dari bentuk yang dapat ditangkap dengan indera penglihatan. Disamping itu bretz juga membedakan antara media siar (telecomunication) dan media rekam (rekording), sehingga terdapat 8 klasifikasi media : 1) media audio visual gerak, 2) media audio visual diam, 3) media audio semi-gerak, 4) media visual gerak, 5) media visual diam, 6) media semi gerak, 7) media audio dan 8) media cetak.
2. Hierarkhi media menurut Duncan
Dalam menyusun taksonomi media, Duncan ingin menjajarkan biaya investasi, kelangkaan dan keluasan lingkup sasarannya di satu pihak dan kemudahan pengadaan serta penggunaan, keterbatasan lingkup, sasaran dan rendahnya biaya dengan tingkat kerumitan perangkat medianya dalam satu hierarkhi. Dapat dijelasakan bahwa semakin rumit jenis perangkat media yang dipakai maka semakin mahal biaya investasinya, semakin susah pengadaannya dan semakin luas ruang lingkup sasarannya. Sebaliknya semakin sederhana perangkat media yang digunakannya biaya akan lebih murah, pengadaannya mudah, sifat penggunaannya lebih khusus dan lingkup sasarannya terbatas.
3. Taksonomi menurut Briggs
Taksonomi ini lebih mengarah kepada karakteristik menurut stimulus atau rangsangan yang dapat ditimbulkan dari media. Grigs mengklasifikasikan 13 macam media yang digunakan dalam proses pembelajaran, yaitu : 1).objek, model, suara langsung, rekaman audio, media cetak, pembelajaran terprogram, papan tulis, media transparasi, film rangkai, film bingkai, film, televisi dan gambar.
4. Kemp & Dayton (1985), mengelompokkan media kedalam 8 jenis, yaitu : 1), media cetakan, 2) media pajang, 3).overhead transparancies, 4). Rekaman audiotepe, 5). Seri slide dan filmstrips, 6). Penuyajian multi-image, 7). Rekaman video dan film hidup, 8). Komputer
5. Seels & Glasgow (1990), dengan melihat dari segi perkembangan teknologi, membagi media dalam dua klasifikasi luas, yaitu :
1. Pilihan media tradisional
a. Visual diam yang diproyeksikan : proyeksi overhead, slides, filmstripe
b. Visual yang tak diproyeksikan : gambar, poster, foto, chart, grafik
c. Audio : rekaman piringan, pita kaset
d. Penyajian multimedia : slide plus suara (tape), multi-image
e. Visual dinamis yang diproyeksikan : film, televisi, video
f. Cetak : buku teks, modul, majalah ilmiah
g. Permainan : teka-teki, simulasi
h. Realia : model, specimen (contoh), manipulatif (peta, boneka)
2. Pilihan media teknologi mutakhir
a. Media berbasis telekomunikasi : telekonference, kuliah jarak jauh
b. Media berbasis mikroprosesor : computer, interaktif, compact disk
6. kelompok media instruksional menurut Anderson, (1976) dalam Pandji (2006) berikut ini:
KELOMPOK MEDIA
MEDIA INSTRUKSIONAL
1.
Audio
· pita audio (rol atau kaset)
· piringan audio
· radio (rekaman siaran)
2.
Cetak
· buku teks terprogram
· buku pegangan/manual
· buku tugas
3.
Audio – Cetak
· buku latihan dilengkapi kaset
· gambar/poster (dilengkapi audio)
4.
Proyek Visual Diam
· film bingkai (slide)
· film rangkai (berisi pesan verbal)
5.
Proyek Visual Diam dengan Audio
· film bingkai (slide) suara
· film rangkai suara
6.
Visual Gerak
· film bisu dengan judul (caption)
7.
Visual Gerak dengan Audio
· film suara
· video/vcd/dvd
8.
Benda
· benda nyata
· model tirual (mock up)
9.
Komputer
· media berbasis komputer; CAI (Computer Assisted Instructional) & CMI (Computer Managed Instructiona
7. Heinich, Molenda, & Russel, mengemukakan klasifikasi dan jenis media yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran yaitu :
1. Media yang tidak diproyeksikan,
· Realita : Benda nyata yang digunakan sebagai bahan belajar
· Model : Benda tiga dimensi yang merupakan representasi dari benda
sesungguhnya
· Grafis : Gambar atau visual yang penampilannya tidak diproyeksikan (Grafik, Chart, Poster, Kartun)
· Display : Medium yang penggunaannya dipasang di tempat tertentu sehingga dapat dilihat informasi dan pengetahuan di dalamnya.
2. Media yang diproyeksikan (projected media),
· OHP, Slide
3. Media audio,
· Audio K aset, Audio V ission, aktive Audio Vission
4. Media video dan film,
5. Multimedia berbasis computer
· Computer Assisted I nstructional ( Pembelajaran Berbasis Komputer)
6. Multimedia Kit
· Perangkat praktikum
8. Dilihat dari sifatnya , media dapat dibagi kedalam :
1. Media auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja atau media yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara
2. Media visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara. Yang termasuk didalam media ini adalah film slide, foto transparansi, lukisan, gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis dan lain sebagainya.
3. Media audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, berbagai ukuran film, slide, suara dan sebagainya. Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik, sebab mengandung kedua jenis unsur media yang pertama dan kedua. (Wina Sanjaya (2007:464),
9. Dilihat dari kemampuan jangkauannya, media dapat pula dibagi ke dalam :
1. Media yang memiliki daya liput yang luas dan serentak seperti radio dan televisi. Melalui media ini siswa dapat mempelajari hal-hal atau kejadian-kejadian yang actual secara serentak tanpa harus menggunakan ruangan khusus.
2. Media yang mempunyai daya liput yang terbatas oleh ruang dan waktu seperti film slide, film, video, dan lain sebagainya. (Wina Sanjaya (2007:464),
10. Dilihat dari cara atau teknik pemakaiannya, media dapat dibagi ke dalam :
1. Media yang diproyeksikan
Media yang diproyeksikan adalah jenis media yang penggunaanya diproyeksikan ke layar. Jenis media yang tegolong kedalam media yang diproyeksikan adalah overhead transparansi, film slide, dan gambar proyeksi komputer (Computer Image Projection). Pada umumnya jenis media ini digunakan untuk membantu dalam presentasi materi pembelajaran. Penggunaan media overhead transparansi dan film slide mampu menayangkan teks dan gambar untuk memperjelas konsep yang diajarkan. Media overhead transparansi dan film slide dapat digunakan dalam proses belajar mengajar baik untuk kelompok sedang maupun besar. Tanpa dukungan alat proyeksi, maka media ini tidak akan berfungsi apa-apa
2. Media yang tidak diproyeksikan, seperti gambar, foto, lukisan, radio dsb.
(Wina Sanjaya (2007:464).
11. Ditinjau dari segi ciri pesan atau rangsangan yang dapat ditampilkan oleh media, maka media pembelajaran dibedakan menjadi:
1. Media audio visual gerak. Media jenis ini merupakan yang paling lengkap sinyal pesannya, yaitu pesan auditif (bersuara), visual (dapat dilihat), dan gerakan. Dengan sendirinya, media ini lebih menarik dan lebih banyak memfasilitasi kemampuan-kemapuan potensial siswa. Termasuk ke dalam kategori ini adalah program film bergerak dan bersuara sekaligus film playernya, VCD dan playernya.
2. Media audio visual diam. Media jenis ini hanya menyajikan pesan auditif dan visual, namun tanpa gerakan. Termasuk dalam kategori ini adalah filmstrip bersuara, slide bersuara, dan komik dengan suara, atau gambar bersuara.
3. Media audio-semi gerak. Telewriter morse, dan media board adalah contoh media kategori ini.
4. Media visual gerak. Media ini menyampaikan stimulus berupa visual yang bergerak, tapi tanpa suara. Film bisu adalah contoh media kategori ini.
5. Media visual diam. Media ini menampilkan visualisasi dan disertai gerakan. Contohnya adalah microform, gambar dan grafis.
6. Media semi gerak, seperti teleautograph.
7. Media audio, yaitu media yang hanya menampilkan stimulasi auditif (suara), seperti radio, tape recorder, audio disc.
8. Media cetak, yaitu yang menampilkan simbol-simbol kata atau diagram, seperti teletipe dan papertape. (Depag, 2005a:61 )
12. Pembagian lain dari media pembelajaran ini adalah dari segi desainnya. Di sini media pembelajaran dibedakan secara garis besar menjadi dua macam :
1. media by design, yaitu media yang ­secara khusus dirancang untuk suatu proses pembelajaran yang spesifik. Contoh dari kategori ini adalah Program pembelajaran terprogram (Programmed Instruction), pembelajaran model (Modular Instruction), Program Radio Pendidikan, Program ­Televisi Pendidikan, dan Program Komputer Pendidikan.
2. media by utilization, yaitu media yang tidak secara khusus dirancang untuk suatu proses pembelajaran, tetapi dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran tertentu. Ini yang paling banyak dijumpai di pasaran berupa alat perlengkap ­kebutuhan sekolah. (Depag, 2005a:62)
13. Berdasarkan bentuknya, jenis media ini dapat diklasifikasikan ke dalam media dua dimensi dan media tiga dimensi. Bahan cetakan seperti gambar, chart, poster, foto dan grafik tergolong sebagai media dua dimensi. Sedangkan realita, replika, model, dan simulator dapat digolongkan sebagai media tiga dimensi. (Eddy, 206)
Setiap jenis media mempunyai karakteristik yang spesifik jika digunakan dalam aktivitas pembelajaran. Media dua dimensi dapat berbentuk gambar yang merepresentasikan suatu objek dan prosedur yang dapat dipelajari untuk menguasai suatu pengetahuan dan keterampilan tertentu. Sementara itu, media tiga dimensi yang dapat berbentuk media murah dan sederhana sampai jenis media yang mahal dan canggih, memberi kemungkinan bagi siswa untuk memperoleh pengalaman belajar yang bersifat langsung yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari. Simulator dan bahan serta perlengkapan yang terdapat di laboratorium tergolong ke dalam jenis media tiga dimensi. Dengan menggunakan jenis media ini siswa mempelajari pengetahuan dan prosedur tertentu yang perlu dipelajari dalam suatu bidang studi.
14. Media berdasarkan bentuk dan cara penyajiannya :
1. Kelompok Satu : Media grafis, bahan cetak dan gambar diam
a. Media grafis adalah media yang menyampaikan fakta, ide, gagasan melalui penyajian kata-kata, kalimat, angka, symbol, yang termasuk media grafis adalah : grafik, diagram, bagan, sketsa, poster, papan flanel, buletin board.
b. Media bahan cetak, adalah medai visual yang pembuatannya melalui proses pencetakan, printing atau offset. Yang termasuk medai bahan cetak adalah : buku tes, modul, bahan pengajaran terprogram
c. Gambar diam adalah media visual yang berupa gambar yang dihasilkan melalui proses fotografi, yang termasuk dalam media ini adalah foto.
2. Kelompok Kedua adalah Media Proyeksi Diam, adalah media visual yang diproyeksikan atau media yang memproyeksikan pesan, dimana hasil proyeksinya tidak bergerak atau memiliki sedikit unsur gerakan. Jenis media ini diantaranya : OHP/OHT, Opaque Projector, Slide dan Filmstripe
1. OHP/OHT adalah media visual yang diproyeksikan melalui alat proyeksi yang disebut OHP (Overhead Projektor) dan OHT biasanya terbuat dari plastik transparan.
2. Media Opaque Projector, adalah media yang digunakan untuk memproyeksikan benda-benda tak tembus pandang, seperti buku, foto. Opaque projector ini tidak memerlukan transparansi tetapi memerlukan penggelapan ruangan.
3. Media Slide atau film bingkai adalah media visual yang diproyeksikan melalui alat yang dinamakan projector slide. Film bingkai ini terbuat dari film positif yang kemudian diberi bingkai yang terbuat dari karton atau plastik.
4. Media Filmstrip, atau film rangkai atau film gelang adalah media visual proyeksi diam yang pada dasarnya hampir sama dengan media slide.
3. Kelompok Ketiga adalah Media Audio, adalah media yang penyampaian pesannya hanya melalui pendengaran. Jenis pesan yang disampaikan berupa kata-kata, sound, effect, yang termasuk media ini adalah : radio, media alat perekam pita magnetik/kaset tape recorder.
4. Kelompok keempat adalah Media Audio Visual Diam, adalah media yang penyampaian pesannya diterima oleh pendengaran dan penglihatan namun gambar yang dihasilkannya adalah gambar diam atau memiliki sedikit gerakan. Diantaranya adalah media sound slide, filmstrip bersuara,
5. Kelompok kelima adalah Film (Motion Picture), yaitu serangkaian gambar diam yang meluncur secara cepat dan diproyeksikan sehingga memberi kesan hidup dan bergerak. Ada beberapa jenis film, ada film bisu, film bersuara dan film gelang yang ujungnya saling bersambungan dan tidak memerlukan penggelapan ruangan.
6. Kelompok keenam adalah Media Televisi, adalah media yang menyampaikan pesan audiovisual dan gerak. Diantaranya adalah, Media Televisi Terbuka, Siaran Televisi Terbatas, dan Video Cassete Recorder.
7. Kelompok ketujuh adalah Multimedia, merupakan suatu sistem penyampaian dengan menggunakan berbagai jenis bahan belajar yang membentuk suatu unit atau paket. Misalnya modul yang terdiri dari bahan cetak, bahan audio dan bahan audiovisual.
Yang tidak kalah pentingnya adalah :
1. Media Objek, merupakan media tiga dimensi yang dalam menyampaikan informasi tidak dalam bentuk penyajian melainkan melalui ciri fisiknya sendiri,seperti warnanya, ukurannya, bentuknya, beratnya dll.
2. Media Interaktif, Karakteristik terpenting dari media ini adalah bahwa siswa tidak hanya memperhatikan media atau objek saja tetapi juga dituntut untuk berinteraksi selama mengikuti pembelajaran. Sedikitnya ada tiga macam interaksi, 1) siswa berinteraksi dengan sebuah program, misalnya siswa diminta mengisi blangko pada bahan belajar terprogram, 2) siswa berinteraksi dengan mesin, misalnya komputer, mesin pembelajaran, laboratorium bahasa, 3) mengatur interaksi sisa secara teratur tetapi tidak terprogram, misalkan simulasi, permainan pendidikan dll.
Daftar Referensi :
Departemen Agama. (2005a). Standar Pelayanan Minimal Madrasah Ibtidaiyah. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum. .Jakarta: Depag.
------------. (2005b). Standar Pelayanan Minimal Madrasah Aliyah. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum. .Jakarta: Depag.
Hermanto, Eddy. (2006). Media Teknologi Dalam Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/072006/05/99forumguru.htm.
Pandji. (2006). Prinsip Pengembangan Media Pendidikan - Sebuah Pengantar. [Online].Tersedia:http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/03/21/prinsip-pengembangan-media-pendidikan-sebuah-pengantar/
Sadiman, Arief, Rahardjo, Haryono Anung, Rahardjito, Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya (1986), Jakarta :PT Raja Grafindo Persada
Sanjaya, Wina, Buku Materi Pokok : Kajian Kurikulum dan Pembelajaran (2007), Bandung : SPS UPI