Jumat, 26 Februari 2010

LIFE SKILL DI MADRASAH ALIYAH




BAB I
PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG

Pendidikan dipercaya mampu mengemban tugas dalam menyiapkan sumber daya manusia yang andal sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan. Tidak hanya dinegara maju, dinegara berkembang seperti Malaysia dan Singapura pun mereka percaya bahwa kemajuan pembangunan yang dicapai, tidak terlepas dari peranan pendidikan yang dijalankan dengan baik. Demikian pula di Indonesia, sadar benar akan peran pendidikan dalam pembangunan bangsa dan negara ini. Untuk itu telah belasan tahun upaya peningkatan mutu pendidikan di negara ini telah dilakukan dengan berbagai cara. Namun demikian, sampai saat ini hasilnya belum secara signifikan mampu meningkatkan mutu pendidikan seperti yang diharapkan. Sebaliknya disisi lain, beberapa waktu yang lalu malah sempat menonjol maraknya tawuran antar siswa, sementara siswa lain banyak yang terseret dalam kasus narkoba. Fenomena itu bukan saja terjadi dikota besar saja, tetapi juga merambah sampai kekota kecil. Warga dan siswa kita kini banyak yang menjadi sensitive, menjadi meledak-ledak oleh hal yang kecil. Suka atau tidak, hal tersebut disisi lain merupakan cerminan akibat dari kurang berhasilnya pelaksanaan pendidikan dinegara ini yang masih hanya mengedepankan pembangunan kecerdasan intelektual ( IQ ) semata dan kurang memperhatikan kecerdasan lainnya seperti kecerdasan emosional ( Emotional Quotient ), kecerdasan spiritual ( Spiritual Quotient ) dan kecerdasan lainnya.
Selain itu, kini jumlah pengangguran dari tahun-ketahun kian membesar yang berakibat pada membengkaknya angka kemiskinan yang dapat berujung pada semakin beratnya beban yang dipikul negara. Berkaitan dengan semakin membengkaknya angka pengangguran, hal ini dapat diasumsikan kurang berhasilnya pendidikan dalam memberdayakan dan memberi bekal peserta didik dengan kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dalam mengarungi kehidupan ini yang semakin kompleks. Kini kita menyadari bahwa pelaksanaan pendidikan kita masih banyak mengalami kekurangan.
Seiring dengan keterpurukan pendidikan nasional dengan melihat beberapa indikator yang mengemuka melahirkan keprihatinan yang mendalam terhadap kesuksesan lembaga pendidikan formal termasuk didalamnya madrasah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Keprihatinan yang muncul disebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sebagaimana hasil survai yang dikemukakan oleh Human Development Index ( HDI ), The political Economic Risk Consultation ( PERC ) dan hasil studi the Third International Mathematics and Science Study Repeat ( TIMSS-R 1999 ) yang menyajikan data bahwa mutu pendidikan di Indonesia menduduki peringkat yang amat rendah dari negara-negara yang di survai. Selain itu juga keprihatinan muncul setelah melihat kondisi riil dimasyarakat, yakni begitu banyak lulusan pendidikan dasar dan menengah yang tidak melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya tidak sanggup mencari kehidupan yang layak apalagi hidup secara mandiri akibat tidak memiliki kecakapan hidup life skill.
Pendidikan selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan mata pelajaran. Pengamatan terhadap praktek pendidikan sehari-hari menunjukkan bahwa pendidikan difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi seberapa jauh penguasaan itu dicapai siswa. Bagaimana keterkaitan antara materi dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah/problem kehidupan, belum mendapatkan perhatian yang selayaknya. Pendidikan seakan-akan terlepas dari kehidupan sehari-hari dan masalahnya, apa strategi untuk memperbaiki kinerja pendidikan kita?. Keprihatinan-keprihatinan diatas melahirkan pemikiran baru bahwa selayaknya setiap jenjang pendidikan seluruh mata pelajaran terintegrasi dengan konsep kecakapan hidup ( life skill ). Hal ini sejalan pula dengan kehendak UNESCO agar pendidikan mengupayakan 4 pilar utama sebagai tujuan pendidikan, yaitu; belajar melakukan ( learning to do ), belajar mengetahui ( learning to know ), belajar menjadi diri sendiri ( learning to be ), dan belajar hidup dalam kebersamaan ( learning to life together ).
Kini pemerintah telah menyiapkan salah satu kemasan kurikulum 2004, yang kita kenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan kemudian dikemas lagi dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP). Selain itu, kecakapan hidup ( Life Skill ) merupakan bahan kajian yang akan diintegrasikan kedalam kurikulum tersebut. Madrasah yang dalam sistem pendidikan nasional dinilai memiliki arti penting sebagai satu pendidikan formal yang berada dibawah pembinaan Departemen Agama.
Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa implementasi kurikulum berbasis kompetensi di sekolah sangat erat kaitannya dengan kebijakan Depdiknas mengenai pelaksanaan Broad Bases Education ( BBE) yang berorientasi life skill.
Apa yang diamanatkan oleh UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional khususnya pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jadi, pada akhirnya apapun kemasan dan isi kemasan tersebut entah KBK dan KTSP tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik agar nantinya mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara. Dengan demikian, materi mata pelajaran haruslah dipahami sebagai alat, dan bukan sebagai tujuan. Sebagai alat, artinya berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar pada saatnya nanti siap digunakan untuk bekal hidup dan kehidupan, bekerja untuk mencari nafkah dan bermasyarakat. Semuanya itu terangkum dalam bingkai kecakapan hidup ( life skill ) yang memadai untuk bekal hidupnya baik sebagai tenaga kerja atau pun sebagai warga masyarakat.
Menjadi madrasah memiliki peran yang sangat strategis, sangat diharapkan menjadi pionir dalam berperan bagi pembentukan jiwa agama yang akan melandasi kecerdasan dan keterampilan peserta didik.
Melalui makalah ini penulis mencoba menyusun perlunya konsep dasar life skill dalam mengoptimalkan pembelajaran pada Madrasah Aliyah keterampilan..

B. PERMASALAHAN

Dalam rangka peningkatan proses pembelajaran pada MAN keterampilan dipandang perlu untuk memahami perlunya menerapkan konsep kecakapan hidup ( life skill ) pada peserta didik. Adapun alternatif yang bisa digunakan sebagaimana kondisi dan permasalahan belajar adalah sebagai berikut:
“ Bagaimana bentuk pelaksanaan life skill yang terintegrasi dalam implementasi kurikulum ”.






BAB II
PEMBAHASAN


A. KECAKAPAN HIDUP ( LIFE SKILL )

1. Pengertian
“Kecakapan hidup atau life skill adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreaktif mencari serta menemukan solusi sehingga mampu mengatasinya. ( Direktorat Dikmenum 2003 )”.
Keterampilan hidup atau kecakapan hidup adalah suatu kecakapan yang dibutuhkan oleh peserta didik sehingga mereka dapat melangsungkan kehidupan dan beradaptasi dengan baik selama ia berada dibangku sekolah ataupun setelah menyelesaikan sekolah pada jenjang tertentu ( keterampilan yang dibutuhkan sepanjang hayatnya). Broling ( 1989 ), mengemukakan bahwa keterampilan hidup adalah interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki seseorang sehingga mereka mampu hidup mandiri. Sementara WHO ( 1997 ) menyatakan bahwa kecakapan hidup adalah sebagai keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidup sehari-hari secara efektif. Keterampilan hidup mencakup 5 jenis, yakni;
(1) kecakapan mengenal diri atau personal,
(2) kecakapan social,
(3) kecakapan berpikir,
(4) kecakapan akademik,
(5) kecakapan kejuruan ( vocasional skill ).
Sementara sumber lain mengatakan bahwa keterampilan hidup adalah seperangkat pengetahuan yang secara praktis dapat membekali seseorang dalam mengatasi berbagai macam persoalan kehidupannya.
Jadi, pada hakekatnya, keterampilan hidup adalah keterampilan yang dimiliki seseorang yang mencakup kemampuan, pengetahuan, dan sikap agar seseorang mampu memecahkan berbagai persoalan hidup dan kehidupan dan mencari solusi dari setiap tuntutan dan tantangan yang dihadapinya sehingga mereka mampu hidup secara sukses. Dengan demikian, keterampilan harus mengarah pada keterampilan personal, keterampilan sosial, keterampilan berpikir rasional, keterampilan akademik, dan keterampilan vocasional.
Dalam Jurnal Pendidikan ( Slamet PH, 2002) mengatakan bahwa keterampilan hidup adalah kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Keterampilan hidup ini dapat di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu keterampilan dasar dan keterampilan instrumental. Sementara menurut Jam’an Satori ( Jurnal pendidikan, 2002 ) bahwa keterampilan hidup dibagi dalam 3 jenis, yaitu :
(1) keterampilan dasar
(2) keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan
(3) keterampilan karakter dan keterampilan efektif.
Yang termasuk keterampilan dasar adalah:
(a) kecakapan berkomunikasi lisan,
(b) kecakapan membaca,
(c) kecakapan penguasaan dasar-dasar berhitung,
(d) kecakapan menulis. Keempat kecakapan tesebut sering disebut “ Calistung “. Yang harus dikuasai peserta didik. Selain itu, ada ahli yang mengatakan bahwa kecakapan hidup merupakan kecakapan pengembangan diri untuk dapat bertahan hidup serta tumbuh dan berkembang, memiliki kemampuan berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok, maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu ( Barrie Hopson dan Mike Scally, 1981 ).
Bervariasinya tentang batasan kecakapan hidup ( life skill ) seperti tercantum diatas, akan menambah wawasan dan lengkapnya pemahaman kita tentang kecakapan hidup. Namun demikian kita dapat menggunakan acuan yang telah ditetapkan oleh Depertemen Pendidikan seperti berikut. Keterampilan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreaktif mencari serta menemukan solusi sehingga pada akhirnya mampu mengatasinya ( Team BBE, 2002 : 11 )
Pengertian kecakapan hidup ( life skill ) lebih luas dari keterampilan vokasional ( vocasional skill ) atau keterampilan untuk bekerja. Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga, pensiunan, pengangguran, tetap memerlukan kacakapan hidup. Seperti halnya orang bekerja, orang yang tidak bekerja pun juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan juga memerlukan kecakapan hidup, karena mereka juga memiliki permasalahannya sendiri. Sepanjang kita masih hidup, dimana pun dan kapan pun, orang selalu menemui masalah yang memerlukan pemecahannya.
Dilihat dari sisi lain, kecakapan hidup dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ;
a. Kecakapan hidup yang bersifat generic ( generic life skill ), yang mencakup kecakapan personal ( personal skill ) dan kecakapan social ( social skill ). Kecakapan personal mencakup kecakapan akan kesadaran diri atau memahami diri ( self awareness ) dan kecakapan berpikir ( thinking skill ). Sedangkan kecakapan social mencakup kecakapan berkomunikasi ( communication skill ) dan kecakapan bekerja sama ( collaboration skill ).
b. Kecakapan hidup spesifik ( specific life skill ), yaitu kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu. Kecakapan spesifik ini mencakup kecakapan akademik ( academic skill ) dan kecakapan vokasional ( vocational skill ). Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup kecakapan mengidentifikasi variable dan hubungan antara satu dengan lainnya ( identifying variables and describing relationship among them ), kecakapan merumuskan hipotesis ( constructing hypotheses ), dan kecakapan merancang dan melaksanakan penelitian ( designing and implementing a research ). Dalam hal ini, yang akan dibahas dalam kegiatan ini adalah kecakapan hidup yang generik atau umum.

2. Tujuan
Tujuan keterampilan hidup ( life skill ) dapat memberikan peluang kepada setiap peserta didik untuk mengembangkan potensinya dan untuk memberikan peluang mengembangkan keterampilan yang dapat dijadikan sebagai sumber penghidupan mereka. Dengan demikian mereka diharapkan mampu, sanggup dan terampil menghadapi tantangan hidup dan tuntutan perkembangan masyarakat di masa kini dan mendatang.
Secara lebih khusus keterampilan hidup bertujuan agar :
1. Membekali lulusan dengan kecakapan hidup untuk memecahkan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi atau warga masyarakat.
2. Memberikan wawasan yang luas mengenai pengembangan karir
3. Memberikan bekal dengan latihan dasar mengenai nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang penuh kompetisi.
4. Menfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari, misalnya kemiskinan, kriminalitas, kesehatan fisik dan mental, pengangguran, kekerasan, narkoba, dan sebagainya.
5. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya sekolah melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah sesuai dengan prinsip pendidikan terbuka.
Secara umum, pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk menfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi peserta didik dalam menjalani kehidupannya kelak sebagai mahluk individu dan sosial.
Secara khusus, pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk :
a. Mengatualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya.
b. Merancang pendidikan agar fungsional bagi kehidupan peserta didik dalam menghadapi kehidupannya di masa datang.
c. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai denga prinsip pendidikan berbasis luas.
Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dilingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.

B. PENGINTEGRASIAN KECAKAPAN HIDUP KEDALAM KURIKULUM.

Dalam pelaksanaannya, pendidikan kecakapan hidup ( life skill ) bukan merupakan bahan kajian atau pelajaran yang berdiri sendiri, melainkan dalam pelaksanaannya akan diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran yang memungkinkan, di mana mata pelajaran di pandang sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan anak didik agar pada saatnya dapat di gunakan sebagai alat bekal hidup dan kehidupan, bekerja dan mencari nafkah dan bermasyarakat.

1. Uraian Singkat Materi Kecakapan Hidup

Sebagai bahan pertimbangan dalam mengintegrasikan bahan kajian atau materi kecakapan hidup kedalam kurikulum, dapat diperlihatkan bagan Uranian singkat materi kecakapan hidup sebagai berikut :


Kesadaran sbg mahluk Tuhan
Kesadaran diri
Kesadaran akan potensi diri

KP Kec. menggali informasi

KHG Kec. mengolah informasi
Kecakapan berpikir
Kec. memecahkan masalah

Kec. mendengarkan
Kec. berbicara
Kec. berkomunikasi Kec. membaca
Kec. menulis

KH KS
Kec. sebagai teman yang menyenangkan
Kec. bekerja sama

Kec. sebagai, pimpinan yang berempati KHS

Keterangan:
KH = kecakapan hidup
KHG = kecakapan hidup generic
KHS = kecakapan hidup spesifik
KP = kecakapan personal
KS = kecakapan social

2. Penjelasan

a. Kecakapan kesadaran diri

Kecakapan kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya.
Dengan kesadaran diri sebagai hamba Allah, seseorang akan terdorong beribadah sesuai dengan agama yang diyakininya. Dalam hal ini pendidikan agama dimaknai bukan sebagai pengetahuan semata, melainkan sebagai tuntutan bertindak dan berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan Allah maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Dengan kesadaran diri seperti itu, nilai-nilai agama dijadikan sebagai roh dari mata pelajaran lainnya.
Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima, yang pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran diri lebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi menjadi nilai-nilai dan kemudian diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Kesadaran diri sebagai hamba Allah diharapkan mendorong yang bersangkutan untuk beribadah, berlaku jujur, mau bekerja keras, disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Kesadaran diri bahwa manusia sebagai mahluk sosial, akan mendorong yang bersangkutan untuk berperilaku yang toleran kepada sesama,suka menolong dan menghindari tindakan yang menyakiti orang lain. Bukankah Allah telah menciptakan manusia itu bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar mereka saling menghormati dan saling membantu.
Kesadaran diri sebagai mahluk lingkungan merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi dengan amanah memelihara lingkungan. Dengan kesadaran itu, pemeliharaan lingkungan bukan merupakan beban, melainkan sebagai kewajiban ibadah kepada Allah, sehingga setiap orang akan terdorong untuk melaksanakan.
Kesadaran akan potensi yang dikaruniakan Allah kepada diri kita, sebenarnya merupakan bentuk syukur kepada Allah. Dengan kesadaran itu, siswa akan terdorong untuk menggali, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi tersebut.
Pendidikan untuk mengembangkan kesadaran diri seringkali di sebut sebagai pendidikan karakter, karena kesadaran diri akan membentuk karakter seseorang. Karakter itulah yang pada saatnya terwujudkan menjadi perilaku orang yangt bersangkutan. Oleh karena itu banyak ahli yang menganjurkan penumbuhan kesadaran diri ini perlu dikembangkan sejak dini dan di upayakan menjadi kehidupan keseharian di rumah maupun di sekolah.

b. Kecakapan berpikir

Kecakapan berpikir pada dasarnya merupakan kecakapan menggunakan pikiran/rasio kita secara optimal. Kecakapan berpikir mencakup antara lain kecakapan menggali dan menemukan informasi ( information searching ), kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan secara cerdas ( information processing and decision making skill ), serta kecakapan memecahkan masalah secara arif dan kreaktif ( creative problem solving skill ).
Kecakapan menggali dan menemukan informasi merupakan kecakapan dasar, yaitu membaca, menghitung, dan melakukan oservasi. Oleh karena itu, anak belajar membaca bukan sekedar “ membunyikan huruf dan kalimat “, tetapi memahami maknanya, sehingga yang bersangkutan dapat mengerti informasi apa yang terkandung dalam bacaan tersebut.
Siswa yang belajar menghitung, hendaknya bukan sekedar belajar secara mekanistik menerapkan kalkulasi angka dan bangun, tetapi mengartikan apa informasi yang diperoleh dari kalkulasi itu. Oleh karena itu, kontekstualisasi atau mata pelajaran lainnya menjadi sangat penting, agar siswa mengerti apa yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, sebagai suatu informasi.

c. Kecakapan sosial

Kecakapan sosial atau antar-personal ( inter-personal skill ) mencakup antara lain kecakapan berkomunikasi dengan empati dan kecakapan bekerjasama. Empati merupakan sikap penuh pengertian dan seni berkomunikasi dua arah, perlu ditekankan karena yang dimaksud berkomunikasi disini bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi pesannya sampai dan disertai dengan kesan baik yang dapat menumbuhkan hubungan yang harmonis.
Komunikasi dapat melalui lisan atau tertulis. Untuk komunikasi lisan, kemampuan mendengarkan dan menyampaikan gagasan secara lisan perlu dikembangkan. Kecakapan mendengarkan dengan empati akan membuat orang mampu memahami isi pembicaraan orang lain, sementara lawan bicara merasa diperhatikan dan dihargai.
Komunikasi secara tertulis ini sudah menjadi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, setiap orang perlu memiliki kecakapan membaca dan menulis secara baik.Kecakapan menuangkan gagasan melalui tulisan yang mudah dipahami orang lain sangat perlu dikembangkan pada setiap siswa.
Menulis gagasan dan menyampaikan gagasan secara lisan dan tulisan bukan semata-mata tugas mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tetapi juga mata pelajaran lain, misalnya melalui tulisan atau presentasi hasil observasi, hasil praktikum, dan sebagainya.
Kecakapan bekerja sama sangat diperlukan karena sebagai mahluk sosial, manusia dalam kehidupan sehari-hari akan selalu bekerja sama dengan orang lain. Kerja sama bukan sekedar kerja bersama, tetapi kerja sama yang disertai dengan saling pengertian, saling menghargai dan saling membantu. Studi mutahir menunjukkan kemampuan kerja sama sangat diperlukan untuk membangun semangat komunitas yang harmonis sehingga akan tercipta kedamaian sejati.
Pada tingkat Madrasah Aliyah pembekalan kecakapan hidup lebih fokus mengembangkan akademik skill dengan terus memantapkan general life skill serta mengembangka secara terbatas vocational skill atau kecakapan kejuruan , karena sudah mengarah pada bidang pekerjaan tetentu yang ada di masyarakat.

3. Strategi Pengintegrasian Life Skill

Pendekatan life skill setiap guru mata pelajaran harus melakukan reorientasi yakni merancang pengalaman belajar yang berorientasi pada kecakapan hidup.
Beberapa catatan penting bagi madrasah/guru untuk melakukan reorientasi pembelajaran adalah bahwa life skill :
§ Tidak dikemas dalam bentuk materi tambahan yang disisipkan dalam mata pelajaran.
§ Tidak memerlukan tambahan alokasi waktu.
§ Tidak memerlukan buku baru
§ Tidak memerlukan tambahan guru baru
§ Dapat diterapkan dengan menggunakan kurikulum apapun
§ Tidak dikemas dalam bentuk mata pelajaran baru.
Selain itu guru dapat merubah strategi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan dan metoda yang variatif, sehingga :
§ Siswa lebih aktif
§ Iklim belajar menyenangkan
§ Fungsi guru bergeser dari sebagai pemberi informasi menuju sebagai fasilitator.
§ Materi yang dipelajari terkait dengan lingkungan kehidupan siswa, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan
§ Siswa terbiasa mencari informasi dari berbagai sumber
§ Menggeser “ teaching” menjadi “ learning”.



BAB III
PENUTUP

Agar pada pelaksanaannya berlangsung sesuai dengan keinginan atau harapan, guru mata pelajaran merancang konsep implementasi life skill dengan cara :
1. Membuat tabel integrasi kecakapan hidup dalam kemampuan dasar pada perangkat pembelajaran setiap mata pelajaran.
2. Membuat rincian kecakapan hidup pada tiap rancangan pengalaman belajar dalam format silabus dan sistem penilaian.
Kecakapan hidup yang diintegrasikan dalam mata pelajaran adalah hal baru yang harus dikembangkan lebih lanjut, konsep pengembangan yang adan ini masih perlu penyempurnaan sesuai tuntutan perubahan, oleh sebab itu di butuhkan gagasan-gagasan kreaktif dan inovatif agar didapat model-model pembelajaran yang benar-benar dana menyenangkan dalam mengembangkan kecakapan hidup yang ideal.


DAFTAR REFERENSI

1. Konsep Kecakapan Hidup ( Direktorat Dikmenum 2003 )
2. Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia ( LKPPI ) Jakarta.
3. Mulyasa ( 2002) Kurikulum berbasis kompetensi, Konsep, Krakteristik, dan Implementasi, Bandung : Remaja Rosdakarya
3. Slamet PH, ( 2002) Jurnal Pendidikan

Selasa, 23 Februari 2010

KREATIVITAS GURU MENGGUNAKAN MEDIA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan wahana yang penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan sistem pendidikan yang berkualitas. Sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan sistem pendidikan yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang handal, pemerintah telah melakukan berbagai upaya dan salah satunya adalah meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar para siswa di setiap jenjang dan tingkat satuan pendidikan perlu diwujudkan agar diperoleh kualitas sumber daya manusia yang dapat menunjang pembangunan nasional. Upaya tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab semua tenaga pendidikan. Demikin halnya dalam pembelajaran di sekolah, untuk memperoleh hasil yang optimal dituntut tidak hanya mengandalkan terhadap apa yang ada didalam kelas, tetapi harus mampu dan mau menelusuri aneka ragam sumber belajar yang diperlukan. Sungguhpun demikian dalam menelusuri dan mendayagunakan aneka ragam sumber tersebut, maka peran guru sangat menentukan, sebab gurulah yang langsung dalam membina para siswa di sekolah melalui proses belajar mengajar. Oleh sebab itu upaya meningkatkan kualitas pendidikan harus lebih banyak dilakukan para guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dan pengajar.
Salah satu upaya yang dimaksud adalah penggunaan media pengajaran dalam proses pembelajaran. Media merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran. Melalui media proses pembelajaran bisa lebih menarik dan menyenangkan (joyfull learning), misalnya siswa yang memiliki ketertarikan terhadap warna maka dapat diberikan media dengan warna yang menarik. Begitu juga halnya dengan siswa yang senang berkreasi selalu ingin menciptakan bentuk atau objek yang diinginkannya, siswa tersebut dapat diberikan media yang sesuai, seperti plastisin, media balok bangun ruang, atau diberikan media gambar lengkap dengan catnya. Dengan menggunakan media berteknologi seperti halnya komputer, amat membantu siswa dalam belajar, seperti belajar berhitung, membaca dan memperkaya pengetahuan.
Penggunaan media pengajaran dapat mempertinggi kualitas proses belajar mengajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hasil belajar para siswa. Aspek penting lainnya penggunaan media adalah membantu memperjelas pesan pembelajaran. Informasi yang disampaikan secara lisan terkadang tidak dipahami sepenuhnya oleh siswa, terlebih apabila guru kurang cakap dalam menjelaskan materi. Disinilah peran media, sebagai alat bantu memperjelas pesan pembelajaran. Oleh karena itu, dalam memenuhi harapan tersebut diperlukan kreativitas dan keterampilan guru dalam membuat, memilih, menggunakan media yang dapat mempengaruhi proses dan kualitas pembelajaran. Selain itu, salah satu faktor penting keberhasilan penggunaan media, tidak terlepas dari bagaimana media itu direncanakan dengan baik.
Melalui makalah ini mencoba menjelaskan media pembelajaran baik yang berkenaan dengan penggunaannya dalam proses pembelajaran maupun pembuatannya sepanjang dimungkinkan oleh guru.
Mengingat luasnya cakupan masalah seperti yang dijelaskan pada latar belakang di atas, maka penulis membatasi fokus pembahasan makalah ini hanya pada: “Kreativitas guru menggunakan media untuk meningkatkan kualitas pembelajaran”
B. Rumusan Masalah
Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pembelajaran terhadap siswa, di pandang perlu untuk memahami perlunya menerapkan konsep dasar kreativitas guru dalam menggunakan media. Adapun alternatif yang bisa digunakan sebagaimana kondisi dan permasalahan hasil belajar dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana kreativitas guru menggunakan media untuk meningkatkan kualitas pembelajaran”
C. Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, secara umum tujuan penulisan makalah ini untuk memberikan gambaran kreativitas guru menggunakan media untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Sedangkan tujuan khusus dari penulisan makalah ini untuk memberikan gambaran bagaimana kreativitas guru dalam merencanakan, membuat, memilih dan menggunakan media sehingga mempengaruhi proses pembelajaran serta dapat mempertinggi kualitas pembelajaran yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hasil belajar para siswa.




BAB II
PEMBAHASAN


A. Konsep Kreativitas Guru.
Dari berbagai faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas pembelajaran, nampaknya faktor guru perlu mendapat perhatian yang pertama dan utama, disamping kurikulumnya, karena baik buruknya suatu kurikulum (pembelajaran) pada akhirnya bergantung pada aktivitas dan kreativitas guru dalam menjabarkan dan merealisasikan kurikulum tersebut.
Pembelajaran yang efektif ditandai oleh sifatnya yang menekankan pada pemberdayaan sumber belajar dan peserta didik secara aktif. Pembelajaran bukan sekedar memorasi dan recall, bukan sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan fungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan dalam kehidupan oleh peserta didik ( Mulyasa, 2006:149).
Pembelajaran efektif juga akan melatih dan menanamkan sikap demokratis bagi peserta didik. Lebih dari itu, pembelajaran yang efektif menekankan pada bagaimana agar peserta didik mampu belajar cara belajar (learning how to learn). Melalui kreativitas guru, pembelajaran di kelas menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan. Proses aktivitas belajar mengajar yang menyenangkan tentunya tidak tercipta begitu saja, akan tetapi pengelolaannya dirancang oleh guru dengan merancang fasilitas belajar (media), sehingga aktivitas belajar siswa menjadi dipermudah dan mendorong proses belajar siswa.
Kreativitas bisa dikembangkan dengan penciptaan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan kreativitasnya. Selanjutnya Mulyasa (2008:51) menyatakan bahwa “kreativitas merupakan hal yang penting dalam pembelajaran, dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreativitas tersebut.” Sedangkan Muhadjir (2003:157) menyatakan “kemampuan kreatif merupakan kemampuan guru untuk menampilkan tata hubungan unik atau hubungan baru non konvensional yang bermakna antara sejumlah sesuatu.” Salah satu bentuk yang perlu ditunjukkan kreativitas guru dalam proses pembelajaran yaitu memanfatkan berbagai sumber belajar dan media pembelajaran agar mempertinggi hasil belajar yang dicapai. Kreativitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia kehidupan sekitar kita. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu.
Menurut Mulyasa (2006:128), secara umum guru diharapkan menciptakan kondisi yang baik, yang memungkinkan setiap peserta didik dapat mengembangkan kreativitasnya, antara lain dengan teknik kerja kelompok kecil, penugasan dan mensponsori pelaksanaan proyek. Selain itu menilai, menghargai peserta didik berpikir kreatif, memberanikan peserta didik untuk memanipulasi benda-benda (obyek) dan ide-ide, menciptakan kondisi yang diperlukan untuk berpikir kreatif, menyediakan sumber untuk menyusun gagasan dan ide-ide, mengembangkan keterampilan untuk memberikan kritik yang membangun dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, Nana Syaodih S. (2004:181), menyatakan berpikir kreatif adalah “kebiasaan berpikir yang bersifat menggali, menghidupkan imaginasi, intuisi, menumbuhkan potensi-potensi baru, membuka pandangan yang menimbulkan kekaguman, merangsang pikiran-pikiran yang tidak terduga.”
Sebagai orang yang kreatif, guru menyadari bahwa kreativitas merupakan yang universal dan oleh karenanya semua kegiatannya ditopang, dibimbing dan dibangkitkan oleh kesadaran itu. Guru sendiri adalah seorang kreator dan motivator, yang berada di pusat proses pendidikan khususnya dalam pembelajaran. Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan nilainya bahwa memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu yang rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya dan apa yang dikerjakan dimasa mendatang lebih baik dari sekarang.
B. Manfaat Media Pembelajaran
Media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Menurut Nana Sudjana (2007:2-3), ada beberapa alasan, mengapa media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa. Alasan pertama berkenaan dengan manfaat media pengajaran dalam proses belajar siswa antara lain:
a) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar.
b) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik.
c) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar untuk setiap jam pelajaran.
d) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian dari guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain.
Contoh sederhana, guru akan mengajarkan masalah kepadatan penduduk sebuah kota. Ia menggunakan berbagai media pengajaran antara lain gambar atau foto suatu kota yang padat penduduknya dengan segala permasalahannya. Gambar dan foto tersebut akan lebih menarik bagi siswa dibandingkan dengan cerita guru tentang padatnya penduduk kota tersebut.
Alasan kedua, mengapa penggunaan media dapat mempertinggi proses dan hasil pengajaran adalah berkenaan dengan taraf berpikir siswa. Taraf berpikir manusia mengikuti taraf perkembangan dimulai dari berpikir kongkret menuju ke berpikir abstrak, dimulai dari berpikir sederhana menuju ke berpikir kompleks. Penggunaan media pengajaran erat kaitannya dengan tahapan berpikir tersebut sebab melalui media pengajaran hal-hal yang abstrak dapat dikongkretkan, dan hal-hal yang kompleks dapat disederhanakan (Nana Sudjana, 2007:3).
Sedangkan Kemp dan Dayton (1985) dalam Wina Sanjaya (2008:210-211), menyatakan media memiliki kontribusi yang sangat penting terhadap proses pembelajaran, diantaranya, yaitu:
1) Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar.
2) Pembelajaran dapat lebih menarik
3) Pembelajaran dapat lebih interaktif
4) Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek.
5) Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan
6) Proses pembelajaran dapat berlangsung kapan pun dan di mana pun diperlukan
7) Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan
8) Peran guru berubah kearah yang positif, artinya guru tidak menempatkan diri sebagai satu-satunya sumber belajar.
Dalam kaitannya dengan fungsi media pembelajaran, dapat ditekankan beberapa hal berikut ini:
a) Penggunaan media pembelajaran bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi memiliki fungsi tersendiri sebagai sarana bantu untuk mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih efektif.
b) Media pembelajaran merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran. Hal ini mengandung pengertian bahwa media pembelajaran sebagai salah satu komponen yang tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan dengan komponen lainnya dalam rangka menciptakan situasi belajar yang diharapkan.
c) Media pembelajaran dalam penggunaannya harus relevan dengan kompetensi yang ingin dicapai dan isi pembelajaran itu sendiri. Fungsi ini mengandung makna bahwa penggunaan media dalam pembelajaran harus selalu melihat kepada kompetensi dan bahan ajar.
d) Media pembelajaran bukan berfungsi sebagai alat hiburan, dengan demikian tidak diperkenankan menggunakannya hanya sekedar untuk permainan atau memancing perhatian siswa semata.
e) Media pembelajaran bisa berfungsi untuk mempercepat proses belajar. Fungsi ini mengandung arti bahwa dengan media pembelajaran siswa dapat menangkap tujuan dan bahan ajar lebih mudah dan lebih cepat.
f) Media pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Pada umumnya hasil belajar siswa dengan menggunakan media pembelajaran akan tahan lama mengendap sehingga kualitas pembelajaran memiliki nilai yang tinggi.
g) Media pembelajaran meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berfikir, oleh karena itu dapat mengurangi terjadinya penyakit verbalisme.
Selain fungsi sebagaimana disebutkan di atas, media pembelajaran ini juga memiliki nilai dan manfaat sebagai berikut:
1. Membuat konkrit konsep-konsep yang abstrak. Konsep-konsep yang dirasakan masih bersifat abstrak dan sulit dijelaskan secara langsung kepada siswa bisa dikonkretkanatau disederhanakan melalui pemanfaatan media pembelajaran. Misalnya untuk menjelaskan tentang sistem peredaraan darah manusia, arus listrik, berhembusnya angin, dan sebagainya bias menggunakan media gambar atau bingkai sederhana.
2. Menghadirkan objek-objek yang terlalu berbahaya atau sukar didapat ke dalam lingkungan belajar. Misalnya guru menjelaskan dengan menggunakan gambar atau program televisi tentang binatang-binatang buas seperti harimau dan beruang, atau hewan- hewan lainnya seperti gajah, jerapah, dinosaurus, dan sebagainya.
3. Menampilkan objek yang terlalu besar atau kecil. Misalnya guru akan menyampaikan gambaran mengenai sebuah kapal laut, pesawat udara, pasar, candi, dsb. Atau menampilkan objek-objek yang terlalu kecil seperti bakteri, virus, semut, nyamuk, atau hewan/benda kecil lainnya.
4. Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat atau lambat. Dengan menggunakan teknik gerakan lambat (slow motion) dalam media film bisa memperlihatkan tentang lintasan peluru, melesetnya anak panah, atau memperlihatkan suatu ledakan. Demikian juga gerakan- gerakan yang terlalu lambat seperti pertumbuhan kecambah, mekarnya bunga wijaya kusumah dan lain-lain.
C. Penggunaan Media Pembelajaran.
Siswa memiliki berbagai keunikan dan keragaman dalam menangkap informasi atau materi pelajaran yang diberikan oleh guru di dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Rusman (2008:83) ada tiga tipe interest siswa kaitanya dengan penerimaan informasi atau materi yang diberikan oleh guru. Pertama, Auditif, yaitu siswa yang senang mendengarkan penjelasan dari guru. Untuk tipe ini tanpa mengggunakan media pembelajaran pun siswa tersebut dapat menangkap informasi atau materi pelajaran yang disampaikan guru. Kedua, Visual, tipe ini siswa lebih senang melihat ketimbang mendengarkan. Untuk tipe siswa ini akan berakibat kurang optimal penyerapan informasi atau materi pelajaran bila guru hanya menggunakan verbal simbol atau ucapan saja. Penggunaan media pembelajaran adalah solusi yang tepat untuk tipe visual ini. Ketiga, Kinestestik, yaitu siswa yang senangnya melakukan (learning to do), tentunya dengan tipe ini menggunakan media pembelajaran akan dapat membantu keterserapan materi pelajaran yang diberikan guru. Jadi bila guru telah mengajar hanya menggunakan verbal simbol atau one way communication, ini belumlah optimal dalam mencapai kompetensi yang diharapkan.
Selain penjelasan tersebut, secara umum media mempunyai kegunaan, yaitu:
1) Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis
2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan daya indra.
3) Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara siswa dengan sumber belajar.
4) Memungkinkan siswa belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya.
5) Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama.
Hasil penelitian BAVA di Amerika menegaskan bahwa bila seorang guru atau tenaga pendidik yang mengajar hanya menggunakan verbal simbol materi yang terserap hanya 13 % saja dan itupun tidak akan bertahan lama, sementara yang menggunakan multimedia bisa mencapai 64 sampai 84 % dan bertahan lebih lama. Hal ini bahwa media sangat besar pengaruhnya dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Sejalan dengan itu, menurut Wina Sanjaya (2008:209), penggunaan media dapat menambah motivasi belajar siswa sehingga perhatian siswa terhadap materi pembelajaran dapat lebih meningkat. Oleh karena itu media pembelajaran dalam penggunaannya harus relevan dengan kompetensi yang ingin dicapai dalam isi pembelajaran itu sendiri. Pendapat ini dipertegas oleh Oemar Hamalik (1994:99), bahwa media pembelajaran sangat penting penggunaannya dalam semua situasi pengajaran, berdasarkan asumsi bahwa media pembelajararan memiliki fungsi yang penting untuk meningkatkan hasil belajar siswa/mahasiswa, dan hasil belajar itu tak mungkin meningkat tanpa penggunaan media pembelajaran yang relevan.
Menurut Nana Sudjana (2007:4), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam menggunakan media pengajaran untuk mempertinggi kualitas pengajaran. Pertama, guru perlu memiliki pemahaman media pengajaran antara lain jenis dan manfaat media pengajaran, kriteria memilih dan menggunakan media pengajaran, menggunakan media sebagai alat bantu mengajar dan tindak lanjut penggunaan media dalam proses belajar siswa. Kedua, guru trampil membuat media pengajaran sederhana untuk keperluan pengajaran, terutama media dua dimensi atau media grafis, dan beberapa media tiga dimensi, dan media proyeksi. Ketiga, pengetahuan dan keterampilan dalam menilai keefektifan penggunaan media dalam proses pengajaran. Menilai keefektifan media pengajaran penting bagi guru agar ia bisa menentukan apakah penggunaan media mutlak diperlukan atau tidak selalu diperlukan dalam pengajaran sehubungan dengan prestasi belajar yang dicapai siswa.
D. Sistematika Perencanaan Media Pembelajaran
Keberhasilan penggunaan media, tidak terlepas dari bagaimana media itu direncanakan. Media yang dapat mengubah perilaku siswa (behavior change) dan meningkatkan hasil belajar siswa tertentu, tidak dapat berlangsung secara spontanitas, namun diperlukan analisis yang komprehensif dengan memperhatikan berbagai aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran. Aspek-aspek tersebut, diantaranya tujuan, kondisi siswa, fasilitas pendukung, waktu yang tersedia dan kemampuan guru dalam menggunakannya dengan tepat. Apabila guru mampu merancang media dengan baik sehingga pada akhirnya akan mampu meningkatkan mutu pembelajaran.
1. Hakikat perencanaan media
Dilihat dari pengadaannya media dapat menggunakan yang sudah ada yang dibuat oleh pihak tertentu (produsen media) dan kita dapat langsung menggunakannya, begitu juga media yang sifatnya alamiah yang tersedia dilingkungan sekolah juga termasuk yang dapat langsung digunakan. Selain itu, kita juga dapat membuat media sendiri sesuai dengan kebutuhan. Disinilah diperlukannya perencanaan, jika kita memiliki media dengan cara membeli yang sudah ada, kegiatan perencanaan media tidak terlalu banyak dilakukan, cukup dengan mencocokan materi yang akan diajarkan dengan media yang tersedia. Berbeda halnya jika kita membuat media sendiri berdasarkan kebutuhan, dalam hal ini diperlukan analisis terhadap berbagai aspek, sehingga sesuai dengan kebutuhan. Bila kita akan membuat program media pembelajaran kita diharapkan dapat melakukannya dengan persiapan dan perencanaan yang teliti. Dalam membuat perencanaan itu ada beberapa pertanyaan yang perlu kita jawab. Pertama kita perlu bertanya mengapa kita ingin membuat program media itu? Apakah pembuatan media tersebut ada kaitannya dengan kegiatan pembelajaran tertentu untuk mencapai tujuan tertenu pula? Untuk siapakah program media tersebut kita buat? Untuk orang dewasakah, anak-anak, mahasiwakah, siswa Sekolah Dasarkah atau masyarakat pada umumnya? Kalau kita sudah mengetahui siapa sasaran kita, pertanyaan kita belum selesai, masih perlu ditanyakan bagaimana karakteristik sasaran siswa tersebut? Betulkah media yang kita buat tersebut betul-betul dibutuhkan oleh mereka? Perubahan perilaku apa yang diharapkan akan terjadi pada diri siswa setelah menggunakan media tersebut? Sebaliknya jika siswa tidak menggunakan media tersebut apakah akan terjadi kerugian secara intelektual? Kita perlu juga, memikirkan materi apa yang perlu disajikan melalui media itu supaya pada diri siswa terjadi perubahan perilaku yang nyata sesuai harapan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak hanya menjadi pemikiran dan ide-ide semata, namun harus ditindak lanjuti dengan cara menuliskannya sehingga akan terwujud sebuah dokumen perencanaan media. Jadi hakikat perencanaan tidak cukup dengan niat dan ide cemerlang dalam membuat media, namun perlu dipersiapkan dalam bentuk naskah perencanaan media.
2. Langkah-langkah perancangan media.
Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran perlu diawali dengan perencanaan pembelajaran yang diwujudkan dengan adanya desain pembelajaran. Demikian juga keberhasilan penggunaan media, tidak terlepas dari bagaimana media itu direncanakan.
Secara umum ada beberapa langkah-langkah dalam merencanakan media, yang dapat diperinci sebagai berikut: (1) identifikasi kebutuhan dan karakteristik siswa; (2) perumusan tujuan instruksional (instructional objective); (3) perumusan butir-butir materi yang terperinci; (4) mengembangkan alat pengukur keberhasilan; (5) menuliskan naskah media, dan (6) merumuskan instrumen dan tes serta alat ukur.
Langkah-langkah tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Identifikasi kebutuhan dan karekateristik siswa. Sebuah perencanaan media harus didasarkan kebutuhan (need). Menurut Wina Sanjaya (2008:91) menganalisis kebutuhan merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam mendesain pembelajaran. Hal ini sesuai dengan tujuan desain yang dikembangkan untuk membantu menyelesaikan kebutuhan belajar untuk siswa. Salah satu indikator adanya kebutuhan karena di dalamnya terdapat kesenjangan (gap). Kesenjangan adalah adanya ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya atau apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi. Dalam pembelajaran yang dimaksud dengan kebutuhan adalah adanya kesenjangan antara kemampuan, keterampilan dan sikap siswa yang kita inginkan dengan kemampuan, keterampilan dan sikap siswa yang mereka miliki sekarang. Adanya kebutuhan, seyogyanya menjadi dasar dan pijakan dalam membuat media pembelajaran, sebab dengan dorongan kebutuhan inilah media dapat berfungsi dengan baik. Kebutuhan akan media dapat didasarkan atas kebutuhan kurikulum, yang diharapkan dapat memiliki sejumlah kemampuan, keterampilan dan sikap yang telah dirumuskan dalam kurikulum. Media yang digunakan siswa, haruslah relevan dengan kemampuan yang dimiliki siswa. Misalnya seorang siswa yang ingin belajar ucapan dan percakapan dalam bahasa Inggris melalui kaset audio, hanya akan dapat mengikutinya jika siswa tersebut telah memiliki kemampuan awal berupa penguasaan kosa kata dan dapat menyusun kalimat sederhana. Jika kita tidak memperhatikan kemampuan tersebut ketika diberikan media tersebut siswa akan mengalami kesulitan.
2) Perumusan tujuan. Tujuan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan karena dengan tujuan akan mempengaruhi arah dan tindakan kita. Dengan tujuan itu pulalah kita dapat mengetahui apakah target sudah dapat tercapai atau tidak. Tujuan harus dirumuskan dengan jelas dan spesifik. Dalam pembelajaran tujuan juga merupakan salah satu faktor penting, karena tujuan itu akan menjadi arah kepada siswa untuk melakukan perilaku yang diharapkan dengan tujuan tersebut.
Menurut Wina Sanjaya (2008:121) tujuan merupakan pengikat segala aktivitas guru dan siswa. Menurutnya, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam merancang program pembelajaran. Perumusan tujuan tersebut yang didalamnya termasuk media yang digunakan. Perumusan tujuan itu, baik guru maupun siswa memiliki kejelasan apa yang harus dicapai, apa yang harus dilakukan dalam mewujudkan tujuan tersebut, materi apa yang harus disiapkan oleh guru, dan bagaimana menyampaikannya, sudah tergambar dengan jelas. Tujuan yang baik, yaitu yang jelas, terukur, dan operasional. Oleh karena itu, dalam melakukan proses pembelajaran menurut Vernon S. Gerlach and Donald P.Ely (1980) menjelaskan, “guru terlebih dahulu menentukan tujuan pembelajaran berdasarkan isi atau materi pembelajara.” Menentukan perilaku siswa, memilih pendekatan dan teknik sesuai tujuan pembelajaran dan alat ukur yang digunakan setiap kelompok dengan teknik tertentu. Perlu mempertimbangkan media pembelajaran yang ada, memilih media sesuai dengan kebutuhan yang diajarkan. Mengetahui sumber belajar yang digunakan dan ketersediaan bahan pengajaran yang bisa digunakan oleh siswa.
3) Perumusan materi. Titik tolak perumusan materi pembelajaran adalah dari rumusan tujuan. Materi berkaitan dengan substansi isi pelajaran yang harus diberikan. Materi disusun dengan memperhatikan kriteria tertentu, diantaranya: (1) sahih atau valid, yaitu materi yang dituangkan dalam media untuk pembelajaran benar-benar telah teruji kebenarannya dan kesahihannya; (2) tingkat kepentingan (significant), yaitu dalam memilih materi perlu dipertimbangkan sejauhmana materi tersebut penting untuk dipelajari, penting bagi siswa dan benar-benar dibutuhkan; (3) kebermanfaatan (utility), yaitu kebermanfaatan secara akademis dan kebermanfaatan dari segi non akademis. Secara akademis harus bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan siswa, sedangkan non akademis materi harus menjadi bekal berupa life skill baik berupa pengetahuan aplikasi, keterampilan dan sikap yang dibutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari; (4) learnability, yaitu sebuah program harus dimunginkan untuk dipelajari, baik dari segi aspek tingkat kesulitannya, bahan ajar tersebut layak digunakan sesuai dengan kebutuhan setempat; dan (5) menarik minat (interest, yaitu materi yang dipilih harus menarik minat dan dapat memotivasi siswa untuk mempelajarinya lebih lanjut. Setiap materi yang diberikan kepada siswa harus menimbulkan keingintahuan lebih lanjut, sehingga memunculkan dorongan lebih tinggi untuk belajar secara aktif dan mandiri.
Begitu halnya dengan materi sebuah program media, kriteria materi yang diuraikan tersebut berlaku pula untuk materi pada media. Sebuah program media di dalamnya haruslah berisi materi yang harus dikuasai oleh siswa.
4) Perumusan alat ukur keberhasilan. Pembelajaran yang kita lakukan haruslah diukur apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai atau tidak. Untuk mengukur hal tersebut, maka diperlukan alat pengukur hasil belajar yang berupa tes, penugasan atau daftar cek perilaku. Alat pengukur keberhasilan belajar ini perlu dikembangkan dengan berpijak pada tujuan yang telah dirumuskan dan harus sesuai dengan materi yang telah dipersiapkan. Yang perlu diukur adalah tiga kemapuan utama yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik yang telah dirumuskan secara rinci dalam tujuan.
5) Menuliskan naskah media. Istilah ini juga digunakan untuk membuat media cetak, seperti halnya buku, koran, majalah dan lain sebagainya. Namun demikian secara umum naskah dalam perencanaan program media dapat diartikan sebagai pedoman tertulis yang berisi informasi dalam bentuk visual, grafis, dan audio sebagai acuan pembuatan media tertentu, sesuai dengan tujuan dan kompetensi tertentu. Secara sederhana naskah juga dapat berupa gambaran umum media atau juga otline media yang akan dibuat. Dengan demikian pembuatan media diawali dengan ide atau gagasan. Menghasilkan media yang bagus diperlukan kreativitas dan ide cemerlang. Contohnya seorang programmer pembuatan media pembelajaran berbantuan komputer, dalam program media tersebut mengacu pada naskah. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran kira-kira ide seperti apa yang menarik namun tetap memiliki substansi materi yang jelas.
E. Kriteria Memilih Media Pembelajaran
Sebelum menjelaskan kriteria dalam memilih sebuah media pembelajaran, maka perlu dijelaskan ada beberapa jenis media pengajaran menurut Nana Sudjana (2007:3-4). Pertama, media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan atau diagram, poster, kartun, komik dan lain-lain. Media grafis sering juga disebut media dua dimensi, yakni media yang mempunyai ukuran panjang dan lebar. Kedua, media tiga dimensi yaitu dalam bentuk model padat (solid model), model penampang, model susun, model kerja, mock up, diorama dan lain-lain. Ketiga, media proyeksi seperti slide, film strips, film, penggunaan OHP dan lain-lain. Keempat, penggunaan lingkungan sebagai media pengajaran.
Penggunaan media di atas tidak dilihat atau dinilai dari segi kecanggihan medianya, tetapi yang lebih penting adalah fungsi media dan peranannya dalam membantu mempertinggi proses pembelajaran. Oleh sebab itu penggunaan media sebagaimana dijelaskan sebelumnya sangat bergantung kepada tujuan pembelajaran, bahan pengajaran, kemudahan memperoleh media yang diperlukan serta kemampuan guru dalam menggunakannya dalam proses pembelajaran.
Sehubungan dengan penggunaan media yang telah disebutkan di atas, menurut Hubbard (1983) mengusulkan sembilan kriteria untuk menilainya, yaitu antara lain biaya, ketersediaan fasilitas pendukung, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan, kerumitan, dan kegunaan. Sedangkan lebih lanjut Ruman (2008:86-87), menjelaskan ada beberapa kriteria pemilihan media pembelajaran, yaitu:
a. Ketepatannya dengan tujuan/kompetensi pembelajaran; artinya media pembelajaran dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional atau kompetensi yang telah ditetapkan.
b. Dukungan terhadap isi materi pelajaran; artinya bahan pelajaran yang sifatnya fakta, prinsip, konsep dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar lebih mudah dipahami siswa.
c. Kemudahan mendapat media; artinya media yang diperlukan mudah diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada saat menggajar.
d. Keterampilan guru menggunakannya; artinya secanggih apapun sebuah media apabila tidak tahu cara menggunakannya maka media tersebut tidak memiliki apa-apa.
e. Tersedia alokasi waktu untuk menggunakannya; sehingga media tersebut dapat bermanfaat bagi siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
f. Memilih media pembelajaran harus sesuai dengan taraf berfikir dan perkembangan siswa, sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dan mudah dimengerti oleh para siswa.
























BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian tersebut, ada beberapa point yang dapat disimpulkan yang berhubungan dengan kreativitas guru menggunakan media untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, di antaranya:
1. Berhasil atau tidaknya suatu kurikulum (pembelajaran) pada akhirnya bergantung pada aktivitas dan kreativitas guru dalam menjabarkan dan merealisasikan kurikulum tersebut.
2. Kreativitas seorang guru merupakan hal yang penting dalam pembelajaran, dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreativitas tersebut.
3. Penggunaan media pengajaran dapat mempertinggi kualitas proses belajar mengajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hasil belajar para siswa. Aspek penting lainnya penggunaan media adalah membantu memperjelas pesan pembelajaran.
4. Secara umum media mempunyai kegunaan, yaitu: (a) memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis, (b) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan daya indra, (c) menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara siswa dengan sumber belajar, (d) memungkinkan siswa belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya, (e) memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama.
5. Ada beberapa langkah-langkah dalam merencanakan media, yang dapat diperinci sebagai berikut: (1) identifikasi kebutuhan dan karekateristik siswa; (2) perumusan tujuan instruksional (instructional objective); (3) perumusan butir-butir materi yang terperinci; (4) mengembangkan alat pengukur keberhasilan; (5) menuliskan naskah media, dan (6) merumuskan instrumen dan tes serta alat ukur.
6. Dalam memilih media pembelajaran harus memiliki beberapa kriteria, yaitu: ketepatannya dengan tujuan/kompetensi pembelajaran, dukungan terhadap isi materi pelajaran, kemudahan mendapat media, keterampilan guru menggunakannya, tersedia alokasi waktu untuk menggunakannya, dan memilih media pembelajaran harus sesuai dengan taraf berfikir dan perkembangan siswa.
B. Saran
Ada beberapa saran yang perlu diperhatikan terutama oleh seorang guru dalam melakukan pembelajaran atau menyampaikan materi ajar kepada peserta didik, yaitu:
1. Melalui kreativitas guru, pembelajaran di kelas menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan. Proses aktivitas pembelajaran yang menyenangkan tentunya tidak tercipta begitu saja, akan tetapi pengelolaannya dirancang oleh guru dengan merancang fasilitas belajar (media), agar aktivitas belajar siswa menjadi dipermudah dan mendorong proses belajar siswa.
2. Guru selalu mengembangkan kreativitas, keterampilan membuat dan merancang serta mengoperasikan media pembelajaran.
3. Media bukan digunakan untuk mempermudah guru mengajar, tetapi media untuk mempermudah siswa belajar ( membelajarkan siswa), sehingga dapat mempertinggi proses belajar siswa.
4. Guru perlu memahami betapa pentingnya penggunaan media dalam pembelajaran karena media pembelajaran dapat mempertinggi kualitas proses belajar mengajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hasil belajar para siswa dan media pembelajaran dapat membantu memperjelas pesan pembelajaran.
5. Media pembelajaran dalam penggunaannya harus relevan dengan kompetensi yang ingin dicapai dalam isi pembelajaran itu sendiri.
6. Memilih media pembelajaran harus sesuai dengan taraf berfikir, perkembangan, dan karakteristik siswa sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dan mudah dimengerti oleh para siswa.
7. Guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya dan apa yang dikerjakan dimasa mendatang lebih baik dari sekarang.







DAFTAR PUSTAKA

Arief S. Sudirman dkk. (2003), Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Arsyad Azhar (2000), Media Pengajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mulyasa (2006), Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementas. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa (2008), Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nana Sudjana (2007), Media Pengajaran. Bandung: Sinar baru Algensindo.
Nana Syaodih S. (2004), Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Yayasan Kusuma Karya.
Noeng Muhadjir (2003), Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta:Rake Sarasin.
Oemar Hamalik (1994), Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran: Dasar dan Strategi Pelaksanaan di Perguruan Tinggi. Bandung: Trigenda Karya.
Rusman (2008), Manajemen Kurikulum. Bandung: SPS UPI.
Wina Sanjaya (2008), Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.
Wina Sanjaya (2008), Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.
Vernon S. Gerlach and Donald P.Ely (1980) Teaching and Media: A Systematic Approach: Prentice-Hall, Inc.

Sabtu, 20 Februari 2010

Kajian pembelajaran


KAJIAN PEMBELAJARAN SEBAGAI SUATU SISTEM

A. Pengertian Pembelajaran
Kata “ pembelajaran “ terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran Psikologi Kognitif-Wholistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam pengelolaan proses belajar mengajar dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar.
Pembelajaran atau pengajaran pada dasarnya merupakan kegiatan guru menciptakan situasi agar siswa belajar. Istilah pembelajaran pengganti pengajaran atau “proses belajar mengajar”. Nana Syaodih Sukmadinata (2004) mengemukakan bahwa “ pembelajaran lebih diarahkan pada kegiatan yang sengaja diciptakan guru agar siswa belajar.”Oemar Hamalik (1991) mengartikan belajar”... proses perubahan tingkah laku melalui interaksi antara individu dengan lingkungan.” Lingkungan disini dalam arti luas meliputi guru, fasilitas belajar, peralatan serta siswa lainnya. Olehkarena itu dalam pengertian ini ciri-ciri pembelajaran lebih terarah pada:
1. Kegiatan untuk meningkatkan, memproses dan mendukung proses belajar mengajar siswa.
2. Mengandung unsur kesengajaan dari luar individu belajar.
Menurut Wina Sanjaya (2005) terdapat beberapa karakteristik penting dari istilah pembelajaran:
1. Pembelajaran berarti membelajarkan siswa
2. Proses pembelajaran berlangsung dimana saja
3. Pembelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan.
Pembelajaran juga merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik antara siswa dan guru, siswa denga siswa atau siswa dengan sumber belajar lain pada suatu lingkungan belajar tertentu, untuk mencapai tujuan tertentu. Komunikasi transaksional merupakan bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami dan di sepakati oleh pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pembelajaran. Disini guru memiliki peranan penting dalam merancang dan melakukan proses pembelajaran, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan kondusif terhadap pencapaian sasaran belajar. Rasa senang belajar bersama guru dikelas akan mendorong kegiatan belajar tanpa guru diluar kelas, dirumah dan tempat lainnya.
Dalam arti yang luas “ pembelajaran berkenaan dengan penyediaan dan pemanfaatan kegiatan sumber-sumber belajar, yang sengaja diciptakan atau tercipta secara alamiah sehingga siswa terbantu untuk mempelajari dan menguasai kemampuan dan atau nilai-nilai yang benar” ( Syaiful Sagala, 2003).
Kemampuan dan nilai-nilai baru merupakan sasaran atau tujuan dari pembelajaran, tetapi proses pembelajaran juga terkait dengan komponen-komponen lain, diantaranya: bahan belajar, metode pembelajaran serta media dan sumber belajar.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Oemar Hamalik (1999), pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran ( Oemar Hamalik, 1999).
Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis, dan alat tulis, fotografi, slide dan film, audio dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya.
Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja. Sistem pembelajaran dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar dikelas atau disekolah, karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk membelajarkan peserta didik. Oleh karena itu lebih lanjut Oemar Hamalik menjelaskan pembelajaran adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik. Rumusan ini lebih menitik beratkan pada unsur peserta didik, lingkungan, dan proses belajar.
Perumusan ini sejalan dengan Corey (1986), pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelolah untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran suatu subset khusus dari pendidikan. Demikian pula dijelaskan oleh Drost S.J, proses belajar mengajar atau pembelajaran untuk membantu pelajar mengembangkan potensi intelektual yang ada padanya. Peran guru tidak hanya terbatas hanya sebagai pengajar (penyampai ilmu pengetahuan), tetapi juga sebagai pembimbing, pengembang, dan pengelolah kegiatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi kegiatan belajar siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Selain yang dikemukan oleh para pakar kurikulum diatas, untuk memahami lebih mendalam apa itu pembelajaran, mari kita telusuri konsep dan pengertiannya. Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (1999) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruktional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai suatu proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreaktivitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.
B. Pengertian Sistem dan Kegunaan Sistem
Salah satu yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas proses pendidikan adalah pendekatan sistem. Melalui pendekatan sistem kita dapat melihat berbagai aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu proses.
Menurut Wina Sanjaya (2008) sistem adalah satu kesatuan komponen satu sama lain saling berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pengertian diatas, maka ada tiga hal yang penting yang menjadi karakteristik suatu sistem. Pertama, setiap sistem pasti memiliki tujuan. Tujuan merupakan ciri utama dalam suatu sistem. Tak ada sistem tanpa tujuan. Tujuan merupakan arah yang harus dicapai oleh suatu pergerakan sistem. Semakin jelas tujuan, maka semakin mudah menentukan pergerakan sistem. Kedua, sistem selalu mengandung suatu proses. Proses adalah rangkaian kegiatan. Kegiatan diarahkan untuk mencapai tujuan. Semakin kompleks tujuan, maka semakin rumit juga proses kegiatan. Ketiga, proses kegiatan dalam suatu sistem selalu melibatkan dan memanfaatkan berbagai komponen atau unsur-unsur tertentu. Oleh sebab itu, suatu sistem tidak mungkin hanya memiliki satu komponen saja. Sistem memerlukan berbagai komponen yang satu sama lain saling berkaitan.
Atas dasar pengertian diatas, maka jelas sistem bukanlah hanya sebagai suatu cara, seperti yang banyak dipahami oleh banyak orang selama ini. Cara, hanyalah bagian dari rangkaian kegiatan suatu sistem. Yang pasti adalah sistem selalui bertujuan, dan seluuruh kegiatan dengan melibatkan dan memanfaatkan setiap komponen diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena sistem merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan melalui pemberdayaan komponen-komponen yang membentuknya, maka sistem erat kaitannya dengan perencanaan.
Menurut Wina Sanjaya (2008) perencanaan adalah pengambilan keputusan bagaimana memberdayakan komponen agar tujuan berhasil dengan sempurna. Oleh sebab itu, proses berpikir dengan pendekatan sistem memiliki daya ramal akan keberhasilan suatu proses. Artinya, apabila seluruh komponen membentuk sistem bekerja sesuai dengan fungsinya, maka dapat dipastikan tujuan yang telah ditentukan akan tercapai secara optimal; sebaliknya manakala komponen-komponen yang membentuk sistem tidak dapat bekerja sesuai dengan fungsinya, maka pergerakan sistem akan terganggu, yang berarti akan menghambat pencapaian tujuan. Misalnya manusia merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen, seperti komponen mata untuk melaksanakan fungsi penglihatan, komponen telinga untuk melaksanakan fungsi pendengaran, komponen mulut untuk melaksanakan fungsi pencernaan, dan lain sebagainya. Manakala salah satu atau sebagian besar komponen tidak berfungsi, maka akan merusak sistem secara keseluruhan. Manakala telinga kita sakit, misalnya sehingga tidak dapat mendengar, maka akan mengganggu seluruh sistem tubuh kita.
Suatu sistem memiliki ukuran dan batas yang relatif. Bisa terjadi suatu sistem tertentu pada dasarnya merupakan subsistem dari suatu sistem yang lebih luas. Misalnya sistem pembelajaran yang memiliki komponen-komponen tertentu pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pendidikan; dan sistem pendidikan merupakan subsistem dari sistem sosial masyarakat. Dalam sistem pembelajaran itu pun memiliki subsistem-subsistem yang kecil, misalnya subsistem media, subsistem strategi dan lain sebagainya. Oleh karena itulah, manakala sesuatu kita kita anggap suatu sistem kita mesti melihat secara keseluruhan komponen yang membentuknya, sebab komponen terkecil dari suatu subsistem dapat mempengaruhi sistem yang lebih luas. Misalnya komponen baut gir yang merupakan subsistem dari roda sepeda motor dapat mempengaruhi sistem sepeda motor itu sendiri.
Kemudian, mengapa pembelajaran dikatakan sebagai suatu sistem? Karena pembelajaran adalah kegiatan yang bertujuan, yaitu membelajarakan siswa. Proses membelajarkan itu merupakan rangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai komponen. Itulah setiap guru memahami sistem pembelajaran. Melalui pemahaman sistem, minimal setiap guru akan memahami tentang tujuan pembelajaran atau hasil yang diharapkan, proses kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan, pemanfaatan setiap komponen dalam proses kegiatan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana mengetahui keberhasilan pencapaian tersebut.
Sistem bermanfaat untuk merancang atau merencanakan suatu proses pembelajaran. Perencanaan adalah proses dan cara berpikir yang dapat membantu menciptakan hasil yang diharapkan ( Ely, 1979). Oleh karena itulah, proses perencanaan yang sistematis dalam proses pembelajaran memiliki beberapa keuntungan, diantaranya:
1. Melalui sistem perencanaan yang matang, guru akan terhindar dari keberhasilan secara untung-untungan, dengan demikian pendekatan sistem memiliki daya ramal yang kuat tentang keberhasilan suatu proses pembelajaran, karena memang perencanaan disusun untuk mencapai hasil yang optimal.
2. Melalui sistem perencanaan yang sistematis, setiap guru dapat menggambarkan berbagai hambatan yang mungkin akan dihadapi sehingga dapat menentukan berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
3. Melalui sistem perencanaan, guru dapat menentukan berbagai langkah dalam memanfaatkan berbagai sumber dan fasilitas yang ada untuk ketercapaian tujuan.
C. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Sistem Pembelajaran
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan proses sistem pembelajaran diantaranya faktor guru, faktor siswa, sarana, alat dan media yang tersedia, serta faktor lingkungan.
1. Faktor Guru
Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran. Tanpa guru, bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak mungkin dapat diaplikasikan. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik, dan taktik pembelajaran.
Guru, dalam proses pembelajaran memegang peranan yang sangat penting. Peran guru, apalagi untuk siswa pada usia pendidikan dasar, tidak mungkin dapat digantikan oleh perangkat lain, seperti televisi, radio, komputer, dan lain sebagainya. Sebab siswa adalah organisme yang sedang berkembang yang memerlukan bimbingan dan bantuan orang dewasa.
Dalam proses pembelajaran guru bukanlah hanya berperan sebagai model atau teladan bagi siswa yang diajarnya, akan tetapi juga sebagai pengelola pembelajaran (manager of learning). Dengan demikian, efektivitas proses pembelajaran terletak dipundak guru. Oleh karenanya, keberhasilan suatu proses pembelajaran ditentukan oleh kualitas atau kemampuan guru.
Menurut Dunkin (1974) ada sejumlah aspek yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari faktor guru, yaitu: “ teacher formative experience, teacher training experience and teacher properties”
Teacher formative experience, meliputi jenis kelamin serta semua pengalaman hidup yang menjadi latar belakang sosial mereka. Yang termasuk kedalam aspek ini diantaranya, meliputi tempat asal kelahiran guru termasuk suku, latar belakang budaya dan adat istiadat, keadaan keluarga dari mana guru itu berasal, misalnya apakah guru itu tergolong mampu atau tidak; apakah mereka berasal dari keluarga harmonis atau bukan.
Teacher training experience, meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru, misalnya, pengalaman latihan profesional, tingkatan pendidikan, pengalaman jabatan, dan lain sebagainya.
Teacher properties, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru, misalnya sikap guru terhadap profesinya, sikap guru terhadap siswa, kemampuan atau intelegensi guru, motivasi dan kemampuan mereka baik kemampuan dalam pengelolaan pembelajaran termasuk didalamnya kemampuan dalam merencanakan dan evaluasi pembelajaran maupun kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran.
Selain latar guru seperti di atas, pandangan guru terhadap mata pelajaran yang diajarkan juga dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Guru yang menganggap pelajaran IPS sebagai mata pelajaran hafalan, misalnya akan berbeda dalam pengelolaan pembelajarannya dibandingkan dengan guru yang menganggap mata pelajaran tersebut sebagai mata pelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir; demikian juga dengan pelajaran matematika, banyak guru yang menganggap sebagai mata pelajaran yang sulit untuk dipelajari. Pandangan yang demikian dapat mempengaruhi cara penyajian mata pelajaran tersebut didalam kelas.
2. Faktor Siswa
Siswa adalah organisme yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, akan tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak sama itu, di samping karakteristik lain yang melekat pada diri anak.
Seperti halnya guru, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran dilihat dari aspek siswa meliputi aspek latar belakang siswa yang menurut Dunkin disebut pupil formative experiences serta faktor sifat yang dimiliki siswa (pupil properties).
Aspek latar belakang, meliputi jenis kelamin siswa, tempat kelahiran dan tempat tinggal siswa, tingkat sosial ekonomi siswa, dari keluarga yang bagaimana siswa berasal dan lain sebagainya; sedangkan dilihat dari sifat yang dimiliki siswa meliputi kemampuan dasar, pengetahuan dan sikap. Tidak dapat disangkal bahwa setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda yang dapat dikelompokkan pada siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Siswa yang termasuk berkemampuan tinggi biasanya ditunjukkan oleh motivasi yang tinggi dalam belajar, perhatian dan keseriusan dalam mengikuti pelajaran, dan lain sebagainya. Sebaliknya siswa yang tergolong pada kemampuan rendah ditandai dengan kurangnya motivasi belajar, tidak adanya keseriusan dalam mengikuti pelajaran termasuk menyelesaikan tugas, dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan semacam itu menuntut perlakuan yang berbeda pula baik dalam penempatan atau pengelompokan siswa maupun dalam perlakuan guru dalam menyesuaikan gaya belajar. Demikian pula halnya dengan tingkat pengetahuan siswa. Siswa yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang penggunaan bahasa standar, misalnya akan mempengaruhi proses pembelajaran mereka dibandingkan dengan siswa yang tidak memiliki tentang hal itu.
Sikap dan penampilan siswa di dalam kelas, juga merupakan aspek lain yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Adakalanya ditemukan siswa yang sangat aktif (hyperkinetic) dan ada pula siswa yang pendiam, tidak sedikit juga ditemukan siswa yang memiliki motovasi yang rendah dalam belajar. Semua itu akan memengaruhi proses pembelajaran di dalam kelas. Sebab, bagaimanapun faktor siswa dan guru merupakan faktor yang sangat menentukan dalam interaksi pembelajaran.
3. Faktor Sarana dan Prasarana
Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pembelajaran, perlengkapan sekolah, dan lain sebagainya; sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran, misalnya, jalan menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil, dan lain sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran; dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.
Terdapat beberapa keuntungan bagi sekolah yang memiliki kelengkapan sarana dan prasarana. Pertama, kelengkapan sarana dan prasarana dapat menumbuhkan gairah dan motivasi guru mengajar. Mengajar dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu sebagai proses penyampaian materi pelajaran dan sebagai proses pengaturan lingkungan yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Apabila mengajar dipandang sebagai proses penyampaian materi, maka dibutuhkan sarana pembelajaran berupa alat dan bahan yang dapat menyalurkan pesan secara efektif dan efisien; sedangkan manakala mengajar dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa dapat belajar, maka dibutuhkan sarana yang berkaitan dengan berbagai sumber belajar yang dapat mendorong siswa untuk belajar. Dengan demikian, ketersediaan sarana yang lengkap, memungkinkan guru untuk memiliki berbagai pilihan yang dapat digunakan untuk melaksanakan fungsi mengajarnya; dengan demikian ketersediaan ini dapat meningkatkan gairah mengajar mereka. Kedua, kelengkapan sarana dan prasarana dapat memberikan berbagai pilihan pada siswa untuk belajar. Setiap siswa pada dasarnya memiliki gaya belajar yang berbeda. Siswa yang bertipe auditif akan lebih mudah belajar melalui pendengaran; sedangkan tipe siswa yang visual akan lebih mudah belajar melalui penglihatan. Kelengkapan sarana dan prasarana akan memudahkan siswa menentukan pilihan dalam belajar.
4. Faktor Lingkungan
Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat memengaruhi proses pembelajaran, yaitu faktor organisasi kelas dan faktor iklim sosial-psikologis.
Faktor organisasi kelas yang di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang dapat memengaruhi proses pembelajaran. Organisasi kelas yang terlalu besar akan kurang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kelompok belajar yang besar dalam satu kelas kecenderungan:
a. Sumber daya kelompok akan bertambah luas sesuai dengan jumlah siswa sehingga waktu yang tersedia akan semakin sempait.
b. Kelompok belajar akan kurang mampu memanfaatkan dan menggunakan semua sumber daya yang ada. Misalnya, dalam penggunaan waktu diskusi; jumlah siswa yang terlalu banyak akan memakan waktu yang banyak pula, sehingga sumbangan pikiran akan sulit didapatkan dari setiap siswa.
c. Kepuasan belajar setiap siswa akan cenderung menurun. Hal ini disebabkan kelompok belajar yang terlalu banyak akan mendapatkan pelayanan yang terbatas dari setiap guru, dengan kata lain perhatian guru akan semakin terpecah.
d. Perbedaan individu antara anggota akan semakin tampak, sehingga akan semakin sukar mencapai kesepakatan. Kelompok yang terlalu besar cenderung akan terpecah ke dalam sub-sub kelompok yang saling bertentangan.
e. Anggota kelompok yang terlalu banyak berkecenderungan akan semakin banyak siswa yang terpaksa menunggu untuk sama-sama maju mempelajari materi pelajaran baru.
f. Anggota kelompok yang terlalu banyak akan cenderung semakin banyaknya siswa yang enggan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan kelompok.
Memerhatikan beberapa kecendeungan di atas, maka jumlah anggota kelompok besar akan kurang menguntungkan dalam menciptakan iklim belajar mengajar yang baik.
Faktor lain dari dimensi lingkungan yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran adalah faktor iklim sosial-psikologis, maksudnya adalah keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. Iklim sosial ini dapat terjadi secara internal atau eksternal.
Iklim sosial-psikologis secara internal, adalah hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah, misalnya iklim sosial antara siswa dengan siswa; antara siswa dengan guru; antara guru dengan guru; bahkan antara guru dengan pimpinan sekolah. Iklim sosial-psikologis eksternal adalah keharmonisan hubungan antara pihak sekolah dengan dunia luar, misalnya hubungan sekolah dengan orang tua siswa, hubungan sekolah dengan lembaga-lembaga masyarakat, dan lain sebagainya.
Sekolah yang memiliki hubungan yang baik secara internal, yang ditunjukkan oleh kerjasama antar guru, saling menghargai dan saling membantu, maka memungkinkan iklim belajar menjadi sejuk dan tenang sehingga akan berdampak pada motivasi belajar siswa. Sebaliknya, manakala hubungan tidak harmonis, iklim belajar akan penuh dengan ketenangan dan ketidaknyamanan sehingga akan memengaruhi psikologis siswa dalam belajar. Demikian juga sekolah yang memiliki hubungan yang baik dengan lembaga-lembaga luar akan menambah kelancaran program-program sekolah sehingga upaya-upaya sekolah dalam meningkatkan kualitas pembelajaran akan mendapat dukungan dari pihak lain.
D. Komponen-Komponen Sistem Pembelajaran
Belajar adalah perubahan tingkah laku. Namun demikian, kita akan sulit melihat bagaimana proses terjadinya perubahan tingkah laku dalam diri seseorang, oleh karena perubahan tingkah laku berhubungan dengan perubahan sistem saraf dan perubahan energi yang sulit dilihat dan diraba. Walaupun kita tidak bisa melihat perubahan tingkah laku pada diri setiap orang, akan tetapi sebenarnya kita dapat menentukan apakah seseorang telah belajar atau belum, yaitu dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
Menurut Wina Sanjaya (2008) proses perubahan tingkah laku pada setiap orang sebelum dan sesudah proses pembelajaran berlangsung dapat digambarkan sebagai berikut:
S
Proses
S1
Input
Output



Gambar 1. Proses Perubahan Tingkah Laku.

Dari gambar tersebut, maka dapat kita lihat, bahwa telah terjadi proses belajar pada diri seseorang (S) manakala terjadi perubahan dari S sebagai input menjadi S1 sebagai output. Efektivitas pembelajaran atau belajar dan tidaknya seseorang tidak dapat dilihat dari aktivitasnya selama terjadinya proses belajar, akan tetapi hanya dapat dilihat dari adanya perubahan dari sebelum dan sesudah terjadi proses pembelajaran.
Pada uraian tersebut sebagai suatu sistem agar proses pembelajaran bisa berhasil, maka sebagai seorang guru perlu menganalisis berbagai komponen sistem pembelajaran.
Selanjutnya menurut Wina Sanjaya (2008), sebagai suatu sistem kita perlu menganalisis berbagai komponen yang membentuk sistem proses pembelajaran. Komponen sistem proses pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut.
Tujuan
S
Proses
S1
Input
Output
Isi/Materi
Metode
Media
Evaluasi






















Gambar 2. Komponen Sistem Proses Pembelajaran.

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebagai suatu sistem, proses pembelajaran terdiri dari beberapa komponen yang satu sama lain saling berinteraksi dan berinterelasi. Komponen-komponen tersebut adalah tujuan, materi pelajaran, metode atau strategi pembelajaran, media, dan evaluasi.
Tujuan merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pembelajaran. Mau dibawah kemana siswa? Apa yang harus dimiliki oleh siswa? Semuanya tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Sehingga ada beberapa alasan menurut Wina Sanjaya (2007) mengapa tujuan perlu dirumuskan dalam kurikulum: Pertama, tujuan erat kaitannya dengan arah dan sasaran yang harus dicapai setiap upaya pendidikan. Kedua, melalui tujuan yang jelas, maka dapat membantu para pengembang kurikulum dalam mendesain model kurikulum yang dapat digunakan bahkan akan membantu guru dalam mendesain sistem pembelajaran. Ketiga, tujuan kurikulum yang jelas dapat digunakan sebagai kontrol dalam menentukan batas-batas dan kualitas pembelajaran. Kalau di ibaratkan, tujuan sama dengan komponen jantung pada sistem tubuh manusia. Adakah manusia yang hidup tanpa jantung? Tidak bukan? Ya, jantung adalah komponen utama manusia. Manusia masih bisa hidup tanpa memiliki tangan, tidak memiliki mata, tetapi tidak akan dapat hidup tanpa jantung. Oleh karenanya, tujuan merupakan komponen yang pertama dan utama.
Sesuai dengan standar isi, kurikulum yang berlaku untuk setiap satuan pendidikan adalah kurikulum berbasis kompetensi. Dalam kurikulum yang demikian tujuan yang diharapkan dapat dicapai adalah sejumlah kompetensi yang tergambar baik dalam kompetensi dasar maupun dalam standar kompetensi.
Menurut W.Gulo (2002) istilah kompetensi dipahami sebagai kemampuan. Kemampuan itu menurutnya bisa kemampuan yang tampak dan kemampuan yang tidak tampak. Kemampuan yang tampak itu disebut performance (penampilan). Performance itu tampil dalam bentuk tingkah laku yang dapat didemonstrasikan, sehingga dapat diamati, dapat dilihat, dan dapat dirasakan. Kemampuan yang tidak tampak disebut juga kompetensi rasional, yang dikenal dalam taksonomi Bloom sebagai kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kedua kompetensi itu saling terkait. Kemampuan performance akan berkembang manakalah kemampuan rasional meningkat. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan luas, akan menampilkan performance yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang memiliki sedikit ilmu pengetahuan.
Isi atau meteri pelajaran merupakan komponen kedua dalam sistem pembelajaran. Dalam konteks tertentu, materi pelajaran merupakan inti dalam proses pembelajaran. Artinya, sering terjadi proses pembelajaran diartikan sebagai proses penyampaian materi. Hal ini bisa dibenarkan manakala tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pembelajaran (Subject centered teaching). Dalam kondisi semacam ini, maka penguasaan materi pelajaran oleh guru mutlak diperlukan. Guru perlu memahami secara detail isi materi pelajaran yang harus dikuasai siswa, sebab peran dan tugas guru adalah sebagai sumber belajar. Materi pelajaran tersebut biasanya tergambar dalam buku teks, sehingga sering terjadi proses pembelajaran adalah menyampaikan materi yang ada di dalam buku. Menurut Oemar Hamalik (2007), isi adalah mata pelajaran pada proses belajar mengajar, seperti pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan mata pelajaran. Pemilihan isi menekankan pada pendekatan mata pelajaran (pengetahuan) atau pendekatan proses ( keterampilan). Namun demikian, dalam setting pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian tujuan atau kompetensi, tugas dan tanggung jawab guru bukanlah sebagai sumber belajar. Dengan demikian, materi pelajaran sebenarnya dapat di ambil dari berbagai sumber.
Strategi atau metode adalah komponen yang juga memiliki fungsi yang sangat menentukan. Penyusunan sekuens bahan ajar berhubungan erat dengan strategi atau metode mengajar. Pada waktu guru menyusun sekuens suatu bahan ajar, ia juga harus memikirkan strategi mengajar mana yang sesuai untuk menyajikan bahan ajar dengan urutan seperti itu. Menurut Syaiful Sagala (2000) konsep dasar strategi belajar mengajar ini meliputi (1) menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan perilaku belajar; (2) menentukaan pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar, memilih prosedur, metode dan teknik belajar mengajar; dan (3) norma dan kriteria keberhasilan belajar mengajar. Strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru, murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Strategi bisa juga disebut sebagai aktivitas yang diberikan pada pembelajar dalam situasi belajar mengajar. Aktivitas belajar ini di desain agar memungkinkan siswa memperoleh muatan yang ditentukan, sehingga berbagai tujuan yang telah ditetapkan, terutama maksud dan tujuan pembelajaran, dapat tercapai. Keberhasilan pencapaian tujuan sangat ditentukan oleh komponen ini. Bagaimanapun lengkap dan jelas komponen lain, tanpa dapat di implementasikan melalui strategi yang tepat, maka komponen-komponen tersebut tidak akan memiliki makna dalam proses pencapaian tujuan. Upaya mengimplementasikan rencana pembelajaran yang telah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun dapat tercapai secara optimal, maka diperlukan suatu metode dan strategi yang telah ditetapkan.
Ada beberapa jenis strategi yang dapat digunakan dalam mengimplementasikan rencana pembelajaran, seperti strategi pembelajaran ekspositori, strategi pembelajaran inkuiri, dan strategi pembelajaran kooperatif (Wina Sanjaya, 2008). Selain strategi tersebut pemilihan metode sangat menentukan dalam mengimplementasikan strategi rencana pembelajaran. Misalnya metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, kerja kelompok, sosiodrama, karyawisata, eksperimen dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap guru perlu memahami secara baik peran dan fungsi metode dan strategi dalam proses pembelajaran.
Alat dan sumber, walaupun fungsinya sebagai alat bantu akan tetapi memiliki peran yang tidak kala pentingnya. Dalam kemajuan teknologi seperti sekarang ini memungkinkan siswa dapat belajar dari mana saja dan kapan saja dengan memanfaatkan hasil-hasil teknologi. Oleh karena itu peran dan tugas guru bergeser dari peran sebagai sumber belajar menjadi peran sebagai pengelola sumber belajar.
Media mengajar merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa belajar. Perumusan tersebut menggambarkan pengertian media yang cukup luas, mencakup berbagai bentuk perangsang belajar yang sering disebut audio visual aid, serta berbagai bentuk alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat elektronika seperti mesin pengajaran, film, audio cassette, video cassette, televisi dan komputer (Nana Syaodih,S, 1997). Melalui penggunaan berbagai sumber itu diharapkan kualitas pembelajaran akan semakin meningkat.
Evaluasi merupakan komponen terakhir dalam sistem proses pembelajaran. Evaluasi bukan saja berfungsi untuk melihat keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran, akan tetapi juga berfungsi sebagai umpan balik bagi guru atas kinerjanya dalam pengelolaan pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik (1994) dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa. Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Evaluasi ini meliputi komponen tujuan mengajar, bahan pengajaran (yang menyangkut sequens bahan ajar), strategi dan media pengajaran, serta komponen evaluasi mengajar sendiri. Melalui evaluasi kita dapat melihat kekurangan dalam pemanfaatan berbagai komponen sistem pembelajaran. Hasil-hasil evaluasi, baik hasil evaluasi hasil belajar, maupun evaluasi pelaksanaan mengajar secara keseluruhan, merupakan umpan balik bagi penyempurnaan-penyempurnaan lebih lanjut. Komponen-komponen apa yang disempurnakan, dan bagaimana penyempurnaan tersebut dilaksanakan. Penyempurnaan mungkin bersifat menyeluruh atau hanya menyangkut bagian-bagian tertentu. Semua hal tersebut tergantung pada kesimpulan-kesimpulan hasil evaluasi.
Menentukan dan menganalisis kelima komponen pokok dalam proses pembelajaran diatas, akan dapat membantu kita dalam memprediksi keberhasilan proses pembelajaran.

E. Kesimpulan
Dari berbagai kajian pembelajaran sebagai suatu sistem yang telah dikemukakan para ahli maka dapat ditarik kesimpulannya sebagai berikut:
1. Pembelajaran sebagai suatu proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreaktivitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
2. Pembelajaran juga merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik antara siswa dan guru, siswa denga siswa atau siswa dengan sumber belajar lain pada suatu lingkungan belajar tertentu, untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Sistem adalah satu kesatuan komponen satu sama lain saling berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
4. Pembelajaran dikatakan sebagai suatu sistem karena pembelajaran adalah kegiatan yang bertujuan, yaitu membelajarakan siswa. Proses membelajarkan itu merupakan rangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai komponen.
5. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan proses sistem pembelajaran di antaranya fakktor guru, faktor siswa, sarana, alat dan media yang tersedia, serta faktor lingkungan.
6. Sebagai suatu sistem agar proses pembelajaran bisa berhasil, maka sebagai seorang guru perlu menganalisis berbagai komponen sistem pembelajaran.
Komponen-komponen tersebut adalah tujuan, materi pelajaran, metode atau strategi pembelajaran, media, dan evaluasi.



Referensi

Oemar Hamalik, (1999) Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.
Dimyati dan Mudjiono (2002), Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta
Nana Syaodih Sukmadinata, ( 2004) Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syaiful Sagala (2003), Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung : Alfabeta.
Wina Sanjaya (2005), Pembelajaran dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.
Wina Sanjaya, ( 2006 ). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.
Wina Sanjaya (2008). Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktik Pengembangan KTSP. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.